ILMU PERBANDINGAN AGAMA DAN DIALOG ANTAR AGAMA
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Agama
Dosen Pengampu : Imamul Huda, M.Pd.I
Disusun
Oleh :
Viky
Astriana (23010-15-0121)
Restu Riawan (23010-15-0127)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu
Perbandinghan Agama sering menimbulkan salah pengertian. Pertama, seseorang
sering memahami Ilmu Perbandingan Agama sebagai ilmu
yang hanya membandingkan antara agama yang satu dengan agama lain. Padahal
tujuan dari Ilmu Perbandingan Agama bukan sekedar membanding-bandingkan, tetapi lebih
luas dari itu. Seseorang dengan
apriori mengangap bahwa Ilmu Perbandingan Agama mendangkalkan
aqidah. Sebab seseorang mengira bahwa dengan mempelajari Ilmu Perbandingan Agama akan mengurangi keyakinan agama Islam. Padahal
justru dengan mempelajari Ilmu Perbandingan Agama seorang Muslim
akan semakin menemukan keunggulan
ajaran agama Islam dibandingkan ajaran agama lain.
Pada makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang ilmu perbandingan
agama, sehingga kita dapat mengetahu ilmu perbandingan agama, yang tujuannya
bukan membanding-bandingkan agama tetapi agar kita lebih menghargai agama lain
dengan cara kita memahami agama mereka.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
Ilmu Perbandingan Agama?
2.
Bagaimana metode Ilmu
Perbandingan Agama?
3.
Bagaimana dialog antar
agama?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui tetang Ilmu Perbandingan Agama.
2.
Mengetahui tentang metode
ilmu perbandingan agama.
3.
Mengetahui tentang dialog
antar agama.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Perbandingan Agama
Ilmu perbandingan agama adalah ilmu yang
dapat mengetahui dan memahami gejala-gejala keagamaan dari pada sesuatu
kepercayaan dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini kadang-kadang
menemukan persamaan-persamaan dasar dari berbagai agama, dan kadang-kadang juga
menemukan perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara macam-macam agama itu.
Biasanya perbandingan agama, dilakukan dari agama yang dipeluk oleh seseorang
dalam usahanya untuk menilai isi dan cirri-ciri dari agama lain.[1]
Sedangkan menurut Ali dalam bukunya
Ahmadi ilmu perbandingan adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha
untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari pada suatu kepercayaan dalam
hubungannya dengan agama lain yang meliputi persamaan dan perbedaan.[2]
Perbandingan agama adalah ilmu
pengetahuan tentang agama yang menjadi salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
belum begitu lama, sebab ilmu ini baru dikenal orang sejak 100 tahun yang lalu.
Meskipun ilmu perbandingan agama baru dikenal di dunia barat tetapi ilmu ini
sudah dikenal di dunia timur sejak dahulu kala, dan diantara kitab-kitab tentang
ilmu ini ialah kitab “Al- Milai WanNihal”.
1.
Tujuan
dan manfaatnya Ilmu
Perbandingan Agama
Ada beberapa tujuannya Ilmu Perbandingan
Agama yaitu:
a.
Ilmu
ini tidak member atau menambah keimanan seseorang,tegasnya orang yang tidak
beragama tidak akan dapat memperoleh sesuatu kepercayaan atau keimanan dari
ilmu ini.
b.
Ilmu
ini tidak membicarakan tentang kebenaran sesuatu agama, oleh karena kebenaran
itu adalah soal teologi yang menggunakan jalan-jalan lain yang berlainan dari
pada ilmu pengetahuan.[3]
Ilmu Perbandingan Agama juga mempunyai banyak manfaat bagi seorang Muslim.
Adapun beberapa manfaatnya adalah sebagai berikut:
1) Dapat
memahami kehidupan batin, alam pikiran dan kecenderungan hati dari berbgai umat
manusia.
2) Dengan
mengetahui agama-agama lain seorang Muslim dapat mencari persamaan-persamaan
(lebih tepat kesejajaran-kesejajaran ) antara agama Islam dengan agama-agama
lain. Dengan demikian dapat membuktikan di mana letak keunggulan agama Islam
dibandingkan agama-agama lain. Selanjutnya dapat mengetahui bahwa agama-agama
sebelum Islam itu sebagai pengantar terhadap kebenaran yang lebih luas dan
lebih penting, yaitu agama Islam.
3) Dengan
membandingkan agama Islam dengan agama-agama lain dapat menimbulkan rasa
simpati terhadap orang-orang yang belum mendapatkan petunjuk tentang kebenaran.
Selanjutnya akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk menyiarkan
kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam agama Islam kepada masyarakat luas.
4) Dengan
membandingkan ajaran-ajaran agama Islam dengan ajaran agama-agama lain akan
memudahkan untuk memahami isi dari agama Islam itu sendiri. Bahkan dengan cara
membandingkan tersebut dapat memperdalam keyakinan seorang Muslim
terhadap ajaran-ajaran yang terkandung di dalam agama Islam itu sendiri, atau
dapat menampakkan mutu manikam ajaran Islam yang kadang-kadang tidak disadari
sebelum dibandingkan dengan agama lain.
5) Dengan
mengetahui konsep-konsep ajaran agama lain seorang Muslim akan dapat belajar
menemukan konsep-konsep yang mudah dicerna orang lain. Sebab sering ajaran
Islam sulit difahami orang lain karena orang Islam sendiri sering mengemukakan
konsep-konsep ajaran Islam yang rumit dan sulit.
6) Dengan
mengetahui ajaran-ajaran agama lain seorang Muslim dapat lebih baik dalam
berdakwah. Sebab ia dapat lebih baik dalam menentukan metode, materi,
konsep-konsep, strategi, dsb. sesuaia dengan sasarannya.
7) Pada
era globalisasi ini dimana bangsa-bangsa, suku-suku, golongan-golongan, dengan
lebih mudah saling bertemu dan berkomunikasi karena berbagai kepentingan, maka
pengetahuan akan agama-agama lain sangat dibutuhkan. Karena dengan bertemunya
macam-macam bangsa, suku dan golongan tersebut pada dasarnya juga saling
bertemu agamanya. Selanjutnya dengan memahami ajaran-ajaran agama lain seorang
Muslim akan lebih mudah toleran dan hidup rukun dengan orang yang beragama
lain. Akibat lebih jauh dengan adanya kerukunan hidup beragama itu para pemeluk
agama-agama dapat saling bersatu untuk perdamaian dunia, mengentaskan
kemiskinan, membangun bangsanya atau dunia, memerangi kejahatan, meninggikan
moral.[4]
8) Dengan
menguasai Ilmu Perbandingan Agama seorang Muslim akan lebih
mudah melakukan dialog dengan pemeluk agama lain.[5]
Di samping itu dengan mempelajari
Ilmu Perbandingan Agama, meneliti dan mengembangkannya, seorang Muslim dapat
mengkaji agama-agama lain terutama yang berada di Barat, sehingga dengan
sendirinya akan mengembangkan Occidentalisme atau pemahaman tentang budaya dan
agama Barat. Sehingga seorang Muslim tidak hanya membiarkan agama Islam
sebagai obyek kajian para Orientalis , tetapi juga menjadi subyek dengan
mengkaji agama-agama selain Islam (terutama agama orang Barat).
2.
Obyek
Ilmu Perbandingan Agama
Menurut Mukti, Ilmu Perbandingan
Agama di Indonesia, menjelaskan bahwa obyek Ilmu Perbandingan Agama
adalah pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundmental dan universal dari
tiap-tiap agama. Beberapa pertanyaan tersebut akan akan dijawab sesuai dengan
ajaran agama masing-masing.[6]
Sedangkan menurut Wach pengalaman
agama berbeda dengan pengalaman psikis biasa. Pengalaman agama mempunyai
beberapa kriteria tertentu. Kriteria pertama, pengalaman agama merupakan suatu
tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak. Kedua, pengalaman
agama merupakan tanggapan yang menyeluruh atau utuh (akal, perasaan, dan
kehendak hati) manusia terhadap Realitas Mutlak. Ketiga, pengalaman agama
merupakan pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesankan, dan mendalam
dari manusia. Keempat, pengalaman agama merupakan pengalaman yang menggerakan
untuk berbuat. Pengalaman tersebut mengandung imperatif, menjadi sumber
motivasi dan perbuatan yang tak tergoyahkan.[7]
Pengalaman agama yang subyektif ini diekspresikan atau diungkaplan dalam tiga
ekspresi, yaitu: a. pengalaman agama yang diungkapkan dalam pikiran. b.
pengalaman agama yang diungkapkan dalam tindakan. c. pengalaman agama yang
diungkapkan dalam kelompok.[8]
Pengalaman agama yang diungkapkan
dalam pikiran terutama berupa mite, doktrin, dan dogma. Pengalaman
agama ini dapat berbentuk symbol, oral, dan tulisan. Tulisan-tulisan
bisa berupa kitab suci dan tulisan klasik Untuk
keperluan memahami kitab suci diperlukan literature yang sifatnya menjelaskan,
misalnya Talmud, Zend dalam Pahlevi, Hadis dalam Islam, Smrti
di India, tulisan-tulisan Luther dan Calvin dalam Protestan. Agama-agama besar
juga mempunyai credo, yaitu suatu ungkapan pendek tentang keyakinan, syahadat
dua belas dalam Kristen, dua syahadat dalam Islam, dan shema
dalam Yahudi. Adapun tema yang fundamental dalam pengalaman agama yang
diungkapkan dalam pikiran adalah Tuhan, kosmos, dan manusia (Teologi, kosmologi,
dan antropologi).
Selanjutnya pengalaman agama yang
diungkapkan dalam tindakan berupa kultus (peribadatan) dan
pelayanan. Termasuk dalam pembahasan ini adalah maslah imitation, yaitu
mencontoh tingkah laku dan kehidupan seorang pemimpin agama. Termasuk dalam
pembahasan ini adalah keinginan supaya orang lain juga beragama seperti dia,
yaitu masalah missionary atau dakwah.
Akhirnya
pengalaman agama yang diungkapkan dalam kelompok berupa kelompok-kelompok
keagamaan (Ecclesia atau Gereja, Kahal, Ummah, Sangha).
Di
sini dibahas juga masalah hubungan antara orang yang beragama dengan masyarakat
umumnya, bahasa yang dipergunakan dalam pergaulan mereka baik antar-agama
maupun intra-agama sendiri, fungsi, kharisma, umur, seks,
keturunan, dan status.[9]
B. Metode
Ilmu Perbandingan Agama
Ada
beberapa metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama. Metode-metode
tersebut ialah:
1.
Metode
Historis.
Dalam metode ini agama dikaji dari segi atau
aspek periodesasi dan saling pengaruh antara agama yang satu dengan agama
lainnya. Di sini dikaji asal-usul dan pertumbuhan pemikiran dan lembaga-lembaga
agama melalui periode-periode perkembangan sejarah tertentu, serta
memahami peranan kekuatan-kekuatan yang diperlihatkan oleh agama dalam periode
tersebut.[10]
Agama yang dikaji dalam
metode ini bukan hanya agama secara keseluruhan, tetapi juga dapat dikaji aliran-aliran
tertentu dari suatu agama maupun tokoh-tokoh tertentu dari suatu agama dalam
periode tertentu dalam sejarah.[11]
2.
Metode
Sosiologis.
Dalam metode ini dikaji problem-problem agama
dan masyarakat dalam hubungannya satu sama lainnya. Banyak yang dapat dikaji
dalam metode ini. Misalnya pengaruh kehidupan masyarakat dan
perubahan-perubahannya terhadap pengalaman agama dan organisasi-organisasinya;
pengaruh masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama, praktek-praktek agama,
golongan-golongan agama, jenis-jenis kepemimpinan agama; pengaruh agama
terhadap perubahan-perubahan sosial, struktur-struktur sosial, pemenuhan atau
fustrasi kebutuhan kepribadian; pengaruh timbale balik antara masyarakat dengan
struktur intern persekutuan agama (segi keluar-masuknya jadi anggota, segi
kepemimpinannya, toleransinya, kharismanya, dsb.) pengaruh gejala-gejala
kemasyarakatan (mekanisasi, industrialisasi, urbanisasi,
dsb.) terhadap agama; pengaruh agama terhadap etik, hukum, negara, politik,
ekonomi, hubungan-hubungan sosial, dsb.[12]
3.
Metode
psikologis.
Di sini dikaji aspek batin dari pengalaman
agama individu maupun kelompok. Di dalam metode
ini dikaji interrelasi dan interaksi antara agama dengan jiwa manusia. Kajian psikologis ini meliputi masalah arketipus,
symbol, mite, numinous, penyataan (wahyu), iman,
pertobatan, revival, suara hati, keinsafan dosa, perasaan bersalah,
pengakuan dosa, pengampunan, kekhawatiran, kebimbangan, penyerahan diri,
kelepasan, askese, kesucian, mistik, meditasi, kontemplasi,
ekstase, orang-orang introvert agama, orang-orang ekstrovert
agama, kehidupan jiwa orang-orang psikose, psikopati, neurose,
dsb.[13]
4.
Metode
Antropologis.
Metode ini memandang agama dari sudut pandang
budaya manusia. Asal-usul dan perkembangan agama dikaitkan dengan budaya manusia. Biasanya metode ini berjalan sejajar dengan
aliran-aliran yang ada dalam antropologi. Misalnya aliran evolusionisme,
fungsionalisme, strukturalisme[14]
5.
Metode
Fenomenologis.
Metode ini mengkaji agama dari segi essensinya.
Dalam metode ini pengkaji agama berusaha mengenyampingkan hal-hal yang
bersifat subyektif. Pengkaji agama berusaha mengkaji agama menurut apa yang
difahami oleh pemeluknya sendiri, bukan menurut pengkaji agama. Cara kerja metode ini adalah mengklasifikasi, menamai, membandingkan
dan melukiskan gejala agama dan gejala-gejala agamani tersendiri (tertentu),
dengan tidak memberikan penilaian tentang nilai, kenyataan dan kebenaran
agama dan gejala-gejala agama tersendiri (tertentu), tetapi menyerahkannya
kepada filsafat agama dan teologi sistematis. Filsafat agama
akan menilainya dalam terang akal-budi yang murni, sedang teologi
sistematis akan menilainya dalam Penyataan Ilahi atau Wahyu.[15]
6.
Metode
Typologis.
Metode ini mengkaji agama atau gejala-gejala
agama dengan membuat tipe-tipe tertentu. Di sini gejala-gejala agama yang ruwet
disusun dengan tipe-tipe ideal. Dalam metode ini disusunlah tipe-tipe mistik,
teologi, peribadatan, kharisma agama, pemimpin agama, kekuatan
agama, kelompok-kelompok agama, kejiwaan pemeluk agama, dsb.
7.
Metode
Perbandingan atau Komparatif.
Dalam metode ini agama secara umum atau
gejala-gejala agama (unsur-agama) diperbandingkan satu dengan lainnya. Ada
beberapa cara dalam membandingkan ini. Menurut Ake Hultkranz, yang dibandingkan
adalah fungsi-fungsi unsur agama dalam konteks budaya. Menurut O. Lewis,
perbandingan bisa berupa perbandingan terbatas maupun perbandingan tak
terbatas. Menurut Platvoet, perbandingan dapat berupa agama-agama sebagai
keseluruhan maupun perbandingan gejala-gejala yang bersamaan di dalam
agama-agama. Adapun van Baaren dan Leertouver membedakan antara perbandingan transkultural
dengan perbandingan kontekstual. Dalam perbandingan transkultural
perhatian ditujukan kepada pada cara dan unsur-unsur agama yang dianggap oleh
penganut agama tersebut berbeda dengan cara dan unsur agama orang luar. Sedang
dalam perbandingan kontekstual agama atau unsur agama dibandingkan dalam
situasi konteks agama dan kebudayaan masing-masing. Akhirnya Ake Hulkrantz juga
menunjukkan perbandingan melalui prinsip-prinsip sejarah, fungsional,
struktural, dsb.[16]
C.
Dialog Antar Agama
1.
Signifikansi dialog antaragama
Setidaknya ada
dua hal yang dapat dijadikan alasan perlunya diadakan dialog antaragama.
Pertama, secara sosiologis, yakni era globalisasi dan informasi yang telah
melanda seluruh aspek kehidupan manusia, di mana planet bumi telah menjelma
menjadi kamar-kamar masyarakat tanpa sekat, tentu akan memunculkan apa yang
disebut dengan pluralisme, termasuk pluralisme agama. Komaruddin Hidayat menyebut
pluralisme agama sebagai sunnatullah (hukum sejarah), sebab menurutnya, inti
keberagamaan adalah hasil pikiran sadar dan bebas, dan hal itu merupakan
jalinan subjektif antara seseorang dengan Tuhannya. Oleh karena itulah
pluralisme paham dan perilaku keberagamaan menjadi niscaya.[17]
Kedua, secara
kemanusiaan, yaitu sebagaimana yang kita lihat dewasa ini, peradaban modern
telah tampil dalam dua wajah yang antagonistis. Di satu pihak peradaban modern
telah berhasil menciptakan kemajuan yang spektakuler, terutama dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemakmuran fisik. Namun pada saat yang sama,
ia juga telah mencetak pola hidup sekularisme, materialisme, dan
individualisme, sehingga muncullah pelbagai problem moral dan kemanusian, di
mana manusia kehilangan unsur spritualitasnya dan sarat dengan kompetisi dalam
tempo tinggi, terjebak dalam kehidupan yang keras serta tidak bersahabat.
Akibatnya lahirlah patalogi-patalogi sosial, seperti, perampokan, pembunuhan,
pelanggaran HAM, dan sebagainya.
Akhir-akhir ini
agama-agama dipandang dapat memberikan wajah baru bagi peradaban modern dengan
segenap problematikanya tersebut. Anggapan ini tentu hanya menjadi sebuah
retorika belaka, jika agama-agama tampil secara sendiri-sendiri dan sibuk
menghadapi konflik antar pemeluk-pemeluknya. Untuk itulah diperlukan adanya
dialog antaragama, agar agama betul-betul dapat diberdayakan sebagaimana
mestinya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan umat manusia.
Kenyataan ini, sudah barang tentu memaksa kita semua untuk meningkatkan
kedewasaan dalam menghadapi perbedaan dan memperluas wawasan paham keagamaan,
agar perbedaan tidak menimbulkan konflik, tetapi merupakan sebagai aset budaya
dan politik. Dialog
antaragama nampaknya cukup relevan dan kondusif dalam hal ini. Atau menurut
istilah Frederick J. Streng dialog antaragama merupakan sebuah bentuk
rekonsiliasi dari pluralitas keagamaan.
2.
Konsepsi dialog antaragama
Dialog adalah suatu percakapan antara dua orang atau lebih yang
memiliki pandangan yang berbeda tentang sebuah masalah. Tujuan utamanya adalah
agar setiap pihak dapat memahami pihak lain sehingga masing-masing dapat
memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas dan berkembang. Dalam dialog setiap
pihak harus bersedia mendengarkan pihak lain secara terbuka dan penuh
perhatian, karena dialog menuntut setiap pihak untuk memahami posisi pihak lain
setepat mungkin, dan tidak mustahil jika mau jujur, satu pihak akan menemukan
posisi pihak lain begitu meyakinkan, lalu menerimanya. Jadi dialog bukan hanya
sekedar debat yang tujuannya semata-mata untuk mengalahkan pihak lain.
Mukti Ali menambahkan bahwa dialog berarti juga concourse, yaitu
berlari atau bergerak bersama-sama, bukan hanya berbicara satu dengan yang
lainnya saja.[18]
Jadi yang dimaksud dialog antaragama adalah
suatu tema wicara antara dua atau lebih pemeluk agama yang berbeda, di mana
diadakan pertukaran nilai dan informasi keagamaan pihak masing-masing untuk mencapai
bentuk kerja sama dalam semangat kerukunan.[19]
Berikut ini ada beberapa pedoman dasar dialog antaragama
yang didesain oleh Leonard Swidler :
a. Tujuan dialog antaragama adalah untuk menambah
pengetahuan, yakni mengembangkan persepsi dan pemahaman tentang realitas, yang
selanjutnya dilaksanakan secara tepat.
b. Dialog antaragama harus dari dua pihak yang
masing-masing sebagai pemeluk agama.
c. Masing-masing
pihak dalam dialog antaragama harus bersikap jujur dan ikhlas. Selain itu,
masing-masing pihak juga harus menganggap pihak lain jujur dan ikhlas.
d. Dalam dialog
antaragama tidak boleh membandingkan antara konsep dengan praktek. Tetapi
hendaknya yang dibandingkan adalah konsep dengan konsep, atau praktek dengan
praktek.
e. Masing-masing
pihak dalam dialog antaragama harus memposisikan dirinya sesuai dengan
eksisitensinya sendiri. Artinya seorang yang beragama Islam, harus berdiri
sebagai seorang muslim, tidak boleh dia berdiri atas nama umat Kristiani atau
umat lainnya.
f. Masing-masing pihak dalam dialog antaragama
tidak dibenarkan memiliki asumsi untuk mencari perbedaan-perbedaan, tetapi
harus berusaha mencoba setuju dengan pihak lain sejauh masih terpelihara
integritas keyakinannya.
g. Dialog
antaragama hanya bisa dilakukan dengan posisi seimbang. Artinya masing-masing
pihak sama-sama untuk saling memberi pengetahuan. Apabila seorang muslim,
misalnya, memandang pihak lain di bawah dia atau sebaliknya, tidak mungkin
terjadi dialog.
h. Dialog antaragama bisa terlaksana atas dasar
saling percaya. Artinya masing-masing pihak memang benar-benar ingin berdialog
dan memenuhi syarat untuk itu. Orang yang tidak memahami agamanya sendiri,
umpamanya, tidak bisa ikut dialog.
i. Orang yang
berniat mengikut dialog antaragama, setidaknya memiliki sifat kritis terhadap
dirinya dan agamanya. Jadi dia sadar benar bahwa diri dan keberagamaannya masih
perlu penyempurnaan.
j. Masing-masing
pihak dalam dialog antaragama harus mencoba untuk menghayati agama atau
kepercayaan pihak lain secara mendalam. Sebab untuk memahami suatu agama secara
tepat, seseorang harus melakukan passing over ke dalam agama tersebut, dan
kemudian kembali dengan terang, penuh pengalaman dan mendalam.[20]
3. Lapangan dan bentuk dialog antaragama
Dialog antaragama mencakup tiga bidang
lapangan operasional. Pertama, dialog antaragama dalam dataran praksis. Dalam
hal ini dialog antaragama biasanya mengambil bentuk dialog kehidupan, yaitu
orang dari pelbagai agama dan keyakinan hidup dalam kebersamaan pada sebuah
komunitas bersama. Atau bisa juga dengan mengambil bentuk kegiatan sosial, di
mana para pemeluk agama mencoba berkolaborasi untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan kemanusiaan. Kedua, dialog antaragama dalam dataran
spritual. Dalam hal ini dialog antaragama bisa mengambil bentuk komunikasi
pengalaman keagamaan dari masing-masing pemeluk agama. Atau bisa juga dalam
bentuk do'a bersama. Ketiga, dialog antaragama dalam dataran kognitif. Dalam
hal ini dialog antaragama mengambil bentuk diskusi teologis di mana para
pemeluk agama tukar menukar informasi tentang keyakinan, kepercayaan dan
amalan-amalan agama mereka masing-masing dan berusaha untuk mencari saling
pengertian dengan perantaraan diskusi tersebut.
4. Tingkatan dialog antaragama
Dialog antaragama dapat dilakukan dalam tiga tingkatan.
Pertama, tingkatan saling mengenal dan mengetahui satu sama lain di antara para
pemeluk agama yang berbeda, karena adanya perasaan untuk saling menghormati dan
menghargai di antara mereka. Kedua, tingkatan adanya upaya untuk saling
mengamati perbedaan nilai-nilai yang diyakini masing-masing pemeluk agama yang
berbeda dengan harapan untuk mencari penyesuaian dengan diri sendiri. Ketiga,
tingkatan adanya upaya untuk mencari dan menyingkapkan wilayah realitas baru
dan kebenaran yang belum terungkap sebelumnya sebagai hasil dari dialog tersebut.
Dengan menjaga integritas dan sikap keterbukaan dalam tukar pendapat, maka
terbuka peluang untuk terjadinya asimilasi yang bermanfaat bagi kedua belah
pihak.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu
Perbandingan Agama sangat bermanfaat bagi seorang Muslim, sebab dengan
mempelajarinya dapat memahami agama-agama lain baik
ajaran-ajarannya maupun perkembangan penafsiran dan lembaganya
secara empiris. Selanjutnya dapat menemukan mutu manikam keunggulan ajaran
Islam setelah dibandingkan dengan agama-agama lain. Akhirnya dapat digunakan
sebagai dialog, kerukunan hidup beragama dan dakwah.
Dialog antaragama merupakan sesuatu yang
sangat urgen dan signifikan, karena ia merupakan rekonsiliasi dari pluralisme
agama. Dengan dialog antaragama diharapkan terjadi pertukaran nilai dan
informasi keagamaan antar pemeluk agama yang berbeda untuk mencapai bentuk
kerja sama dalam semangat kerukunan. Dengan demikian agama menjadi berfungsi
dan dapat diberdayakan sebagaimana mestinya. Alquran sebagai kitab suci agama
Islam tentu saja tidak melupakan masalah hubungan antaragama, karena Alquran
sendiri turun ditengah-tengah masyarakat yang telah memeluk agama sebelumnya.
Paling tidak ada empat paradigma atau prinsip yang diajarkan Alquran untuk
membangun dialog antaragama, yaitu: kesadaran akan perbedaan, kebebasan
beragama, kebenaran bersifat universal dan doktrin supersessionisme Alquran
sebagai legitimasi bagi agama-agama sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rivai, Moh. Perbandingan Agama.Semarang:
Wicaksana.
Ali, A. Mukti. 1998. Agama Moralitas dan
Perkembangan Kontemporer. Yogyakarta : Tiara wacana.
Ahmadi, Abu. 2014. Perbandingan Agama. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Mukti,Ali.1993. ilmu
Perbandingan Agama. Yogyakarta: IAIN Sunan Kali jaga press.
.
Wach, Joachim.1969.
The Comparative Study of Religions. Columbia
.
Jongeneel, J.A.B. 1978. Pembimbing ke dalam Ilmu
Agama dan Teologi Kristen Pembimbing Umum Pembimbing ke dalam Ilmu Agama,I. Jakarta.
Daradjat, Zakiah.1992. Perbandingan
Agama, II. Jakarta.
Daya, Burhanuddin dan Herman Leonard Beck.
1990. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda (Beberapa Permasalahan). Jakarta.
Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja
Midas.1998 .Jakarta.
Hendropuspito,D. 1990. Sosiologi Agama. Yogyakarta.
Swidler, Leonard.1994. “The Dialogue
Decalogue; Ground Rulers for Interreligious, Interideological Dialogue” dalam
Jurnal Al-Jami'ah, No. 57.
[6] Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama,hlm.7.
[7]Joachim Wach, Studi Perbandingan
Agama ,(Columbia:_ 1969), hlm.31-36.
[9]Ali Mukti, Ilmu Perbandingan Agama,hlm.79-81.
[11]J.A.B Jongeneel, Pembimbing ke dalam Ilmu
Agama dan Teologi Kristen Pembimbing Umum Pembimbing ke dalam Ilmu Agama,I (Jakarta : 1978). Hlm.49
[12]Ibid., hlm.68-69
[13]Ibid., hlm. 86
[14]Zakiah Daradjat, Perbandingan
Agama, II. (Jakarta : 1992). hlm.56
[15]J.A.B Jongeneel, Pembimbing ke dalam Ilmu
Agama dan Teologi Kristen Pembimbing Umum Pembimbing ke dalam Ilmu Agama,I (Jakarta : 1978). Hlm.106-107
[16]Daya, Burhanuddin dan Herman Leonard Beck. Ilmu Perbandingan Agama di
Indonesia dan Belanda (Beberapa
Permasalahan). (Jakarta : 1990). Hlm.53-56
[18] A. Mukti Ali, Agama Moralitas dan
Perkembangan Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana 1998), hlm. 7-8
[20]Leonard Swidler, “The Dialogue Decalogue; Ground Rulers for Interreligious,
Interideological Dialogue” dalam Jurnal Al-Jami'ah, No. 57, Tahun. 1994, p.
142-144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar