MAKALAH
“SEJARAH MUNCULNYA MADZHAB FIQIH”
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Madzhab
Dosen Pengampu : Mukhamad Arifin, LC., M.S.I.
Disusun oleh :
1.
Rosidita
Nuha Khoirinnisa (23010150381)
2.
Anisatul
Munfa’ati (23010160008)
3.
Umi Wulandari
K (23010160011)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur
kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada
kami sehingga kami telah berhasil menyusun makalah yang berjudul “Sejarah
Munculnya Madzhab Fiqih” dengan mudah dan tepat pada waktunya. Untuk itu, pada
kesempatan kali ini kami selaku penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada
dosen pengampu mata kuliah Perbandingan Madzhab yang telah memberikan dorongan,
bimbingan, arahan dan tugas makalah ini.
Makalah yang
kami buat yakni berdasarkan hasil pengamatan dari berbagai sumber informasi,
referensi, dan lain-lainnya. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang
lebih luas bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak kekurangan. Untuk itu, kepada dosen pembimbing dan pembaca kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan pembuatan makalah
ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Salatiga, 9 Maret 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
perkembangan ilmu islam sampai pada saat ini, tidak bisa dilepaskan dari
pemikiran dari para imam mujtahid atau imam madzhab. Dengan segala usaha, para
imam madzhab terus menggali hukum – hukum dalam Al – Qur’an maupun hadis Nabi
Muhammad. Sehingga sampai pada masa sekarang kaidah – kaidah hukum dari para
imam madzhab terutama dalam bidang kajian fiqh memberikan kontribusi yang
sangat banyak bagi perkembangan ilmu fiqh. Hal tersebut tentunya tidak terlepas
dari pemikiran dan kaidah – kaidah hukum yang telah digali oleh para imam
madzhab.
Ada
beberapa madzhab yang harus diketahui oleh umat Islam yang berada diseluruh
dunia, diantaranya yang termasyhur ada empat madzhab yaitu: Nu’man bin Tsabit
bin Zautha bin Mah yang dikenal dengan Imam Hanafy, Malik bin Anas bin Malik
bin Abi Amir Al-Ashbahy yang dikenal dengan nama Imam Maliki, Muhammad yang
dikenal dengan nama Imam Syafi’i, dan Ahmad yang dikenal dengan nama Imam
Hambaly.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
biografi para imam madzhab ?
2.
Bagaimana
pendidikan, guru – guru, serta murid – murid dari imam madzhab ?
3.
Apa
saja karya – karya dari imam madzhab ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui biografi imam madzhab.
4.
Untuk
mengetahui pendidikan, guru – guru, serta murid – murid dari imam madzhab.
5.
Untuk
mengetahui karya – karya dari imam madzhab.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Empat Imam Madzhab
1.
Biografi Imam Syafi’i
Imam al Syafi’i lahir di Gaza,
Palestina pada tahun 150 H / 767 M dan meninggal dunia di Fustat (Kairo) Mesir
pada tahun 204 H / 20 Januari 820 M. Dia adalah ulama’ mujtahid (ahli ijtihad)
dibidang fiqh dan salah seorang dari empat Imam Mazhab yang terkenal dalam
Islam.[1]
Berkenaan dengan garis keturunannya
mayoritas sejarawan berpendapat bahwa ayah Syafi’i berasal dari Bani Muthalib,
suku Quraisy, silsilah nasabnya adalah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Utsman
ibni Syafi’i ibn Saib ibn Abdul Yazid Ibnu Hisyam ibn Muthalib ibn Abdul Manaf.
Nasab al Syafi’i bertemu dengan Rasulullah SAW di Abdul Manaf.
Kata al Syafi’i dinisbahkan kepada
nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i ibn as-Sa’ib ibn Abid ibn Abd Yazid
ibn Hasyim ibn al Muthalib ibn Abd Manaf, Abd Manaf ibn Qusay kakek kesembilan
dari kesembilan dari Imam Syafi’i adalah Abdul Manaf ibn Qusay kakek ke empat
dari Nabi Muhammad SAW, jadi nasab Imam al Syafi’i bertemu dengan Muhammad SAW
pada Abdul Manaf.[2]
Sedangkan ibunya bernama Fatimah Binti Abdullah ibn Husain ibn Ali ibn Abi
Thalib. Ia adalah cicit dari Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian kedua orang
tua imam Syafi’i berasal dari bangsawan Arab Qurasy.
Kedua orang tuanya meninggalkan
Mekkah menuju Gaza, Palestina, ketika ia masih dalam kandungan. Beberapa bulan
sepeninggalan ayahnya ia dilahirkan dalam keadaan yatim. Imam Syafi’i diasuh
dan dibesarkan oleh ibunya sendiri dalam keadaan yang sangat sederhana, setelah
imam al Syafi’i berumur dua tahun ibunya membawanya pulang ke kampung asalnya
Mekkah, disinilah Imam Syafi’i tumbuh dan dibesarkan. Meskipun begitu pada usia
9 tahun beliau sudah dapat menghafal Al Quran 30 juzuk di luar kepala dengan
lancarnya. Setelah dapat menghafal Al Quran, Imam Syafi’i berangkat ke dusun
Badui Banu Hudzail untuk mempelajari bahasa arab yang asli dan fasih.[3]
Di Mekkah dia mulai menimba ilmu,
setelah itu dia pindah ke Madinah ke Baghdad dua kali,dan akhirnya menetap di
Mesir tahun 199 Hijriah dan menetap disana hingga akhir hayatnya.[4] Tepat
pada Hari Kamis malam Jum’at tanggal 29 rajab 204 H (820 M). ar-Rabi’ ibn
sulaiman berkata, “Imam Al-Syafi’I meninggal pada malam jum’at setelah magrib.
2.
Biografi Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah lahir di Kuffah
pada tahun 80 H/ 659 M, dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 150 H/ 767 M.
Ia adalah ulama’ mujtahid (ahli ijtihad) dalam bidang fiqh dan salah seorang
diantara imam yang empat yang terkenal (Mazhab Maliki, al-Syafi’I, Hambali, dan
Mazhab Hanafi) dalam islam.
Nama lengkapnya Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit, ayahnya Tsabit berasal
dari keturunan Persia. Gelar Abu Hanifah diberikan kepada Nu’man ibn Tsabit
karena ia seorang yang sungguh-sungguh dalam beribadah. Kata hanif dalam bahasa
arab berarti “suci” atau “lurus” .Abu Hanifah adalah pendiri mazhab hanafi yang
terkenal dengan “al-imamal-a’dzam” yang artinya Imam Terbesar. Ada yang
mengatakan bahwa sebab penamaan dengan Hanifah adalah karena dia selalu membawa
tinta yang disebut Hanifah dalam bahasa Irak.[5]
Imam Abu Hanifah meninggal pada tahun Rajab 150 H,
karena meminum racun yang sediakan oleh Khalifah al-Mansur, sewaktu bermunajat
dalam alunan doanya kepada Allah. Jenazahnya dishalatkan sampai enam kalinya
diikuti oleh kurang lebih sebanyak lima puluh ribu jama’ah .Bahkan shalat
jenazah ini pun dilaksanakan setelah Imam Abu Hanifah dimakamkan setelah
kira-kira dua puluh hari, orang-orang terus menziarahi kuburannya untuk berdoa
dan melakukan shalat ghaib.
3. Biografi Imam Malik
Imam Malik dilahirkan di kota
Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93 H (712 M). Wafat pada hari Ahad
tanggal 10 Rabi’ulawwal tahun 179 H di Madinah. Nama kecil beliau ialah Malik
bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al Ashbahy.
Beliau adalah seorang keturunan dari bangsa Arab dari dusun Dzu Ashbah,
sebuah dusun di kota Himyar. Nama ibunya adalah Siti Al Aliyah binti Syuraik
bin Abdurrahman bin Syuraik Al Azadiyah [6].
Imam Malik adalah seseorang yang
berbudi mulia, dengan pemikiran yang cerdas, pemberani dan teguh mempertahankan
kebenaran yang diyakini.Beliau seorang yang mempunyai sopan-santun dan lemah
lembut, suka menengok orang sakit, mengasihani orang miskin dan suka memberi
bantuan kepada orang yang membutuhkannya.Beliau juga seorang pendiam serta
menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak bermanfaat, suka bergaul
dengan handai taulan, bergaul dengan penjabat pemerintah, orang yang menegerti
dengan agama, dan tidak pernah melanggar batasan agama[7].
4. Biografi Imam Hanbali
Imam Hanbali dilahirkan di Baghdad
pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 H/780 M. Tempat kediaman ayah dan ibunya
sebenarnya di Kota Marwin, wilayah Khurusan, tetapi dikala ia masih dalam
kandungan, ibunya kebetulan pergi ke Baghdad. Nama lengkapnya adalah Abu
Abdillah Ahmad ibn Hanbal ibn Asad ibn Idris ibn Abdillah ibn Hayyan ibn
Abdillah ibn Anas ibn Auf ibn Qasath ibn Mazin ibn Syaiban ibn Dzahl ibn
tsa’labah ibn Ukabah ibn Sha’d ibn Ali ibn Bakar ibn Wa’il ibn Qasith ibn Hanab
ibn Qushay ibn Da’mi ibn Judailah ibn Asad ibn Rabi’ah ibn Nazzar ibn Ma’ad ibn
Adnan.[8]
Imam Ahmad ibn Hanbal banyak
mempelajari dan meriwayatkan hadits, dan beliau tidak mengambil hadits kecuali
hadits-hadits yang sah jelas shahihnya. Oleh karena itu, akhirnya beliau
berhasil mengarang kitab hadits, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hanbal.
Beliau mulai mengajar ketika berusia 40 tahun.
Beliau wafat pada hari Jum’at
tanggal 12 bulan Rabi’ul Awal tahun 241 H/855 M. Dikala itu beliau telah
berusia 77 tahun. Jenazah beliau dimakamkan pada hari Jum’at setelah sembahyang
sholat Jum’at, dimakamkan di Bab Harb di Kota Baghdad.[9]
B.
Pendidikan, Guru-Guru, dan Murid-Murid Empat Imam Madzhab
1.
Pendidikan, Guru-Guru, dan Murid-Murid Imam Syafi’i
Disamping mempelajari pengetahuan di
Mekkah Imam al-Syafi’i mengikuti latihan memanah, dalam memanah ini Imam
al-Syadi’i mempunyai kemampuan diatas teman temannya. Dia
memanah sepuluh kali, yang salah sasaran hanya sekali saja. Kemudian ia dia
menekuni bahasa Arab dan Syair hingga membuat dirinya menjadi anak paling
pandai dalam bidang tersebut. Setelah menguasai keduanya Imam Syafi’i lalu
menekuni dunia fiqh dan akhirnya menjadi ahli fiqh terkemuka di masanya.
Dalam masalah ilmu fiqh Imam Syafi’i
belajar kepada Imam Muslim ibn Khalid az-Zanny, seorang guru besar dan mufti
dikota Mekkah sampai memperoleh ijazah berhak mengajar dan memberi fatwa,
selain itu Imam al Syafi’i juga mempelajari berbagai cabang ilmu agama lainnya
seperti ilmu hadist dan ilmu al- Quran. Untuk ilmu hadist ia berguru pada Ulama
hadist terkenal di zaman itu Imam Syufyan Ibn Uyainah, sedangkan untuk al-Quran
ia berguru pada Ulama besar imam Ismail Ibn Qasthanthin.[10]
Imam al-Syafi’i meninggalkan kota
Mekkah menuju Madinah untuk belajar kepada Imam Malik ibn Annas, seorang Ulama
fuqaha’ termashur disana pada saat itu. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya
bersama Imam Malik diusainya yang kedua puluh tahun sampai gurunya meninggal
dunia pada 179 H/796 M. Pada saat wafatnya Imam Malik, Imam Syafi’i sudah
meraih reputasi sebagai fuqaha’ yang masyhur di Hijjaz dan berbagai tempat
lainnya. Ia kemudian meninggalkan Madinah menuju Irak untuk berguru kepada
Ulama besar disana antara Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad ibn Hasan, Beliau
memperoleh pengetahuan yang lebih luas mengenai cara-cara hakim memeriksa dan
memutuskan perkara, cara menjatuhkan hukuman, serta berbagai metode yang
ditetapkan oleh para mufti disana yang tidak pernah dilihatnya di hedjaz.
Sebagai pencinta ilmu Imam
al-Syafi’I mempunyai banyak guru, begitu banyaknya guru Imam al-Syafi’i,
sehingga imam ibnu Hajar al Asqalani menyusun suatu buku khusus yang bernama
“Tawalil at-ta’sis” yang didalamnya disebut nama-nama ulama’ yang pernah
menjadi guru Imam al Syafi’i antara lain: 1) Imam Muslim ibn Khalid, 2) Imam
Ibrahim ibn sa’id, 3) Imam Sufyan ibn Uyainah, 4) Imam Malik ibn Annas (Imam
Maliki), 5) Imam Ibrahim ibn Muhammad, 6) Imam Yahya ibn Hasan, 7) Imam Waqi’,
8) Imam Fudail ibn Iyad, 9) Imam Muhammad ibn al-Syafi’i.
Pada akhir menjelang akhir hayatnya
ia menderita penyakit Bawasir yang susah diobati. Hal ini disebabkan beliau
kebanyakkan duduk, apalagi beliau mendapat musibah dengan dikeroyok oleh futiah
dan para pengikutnya ketika beliau sedang sendirian.Akibat pengkroyokan itu
Imam al-Syafi’I jatuh pinsan dan dibawa dirumahnya dengan digotong. Ketika Imam
al-Syafi’i sakit para muridnya sering datang menolong. Diantaranya al-Muzni dan
ar-Rabi’. Kepada Ar-Rabi’ ia berpesan “Apabila aku wakaf hendaklah kamu segera datang
memberitahu wali negeri Mesir dan mintalah kepadanya untuk memandikan aku”.
Pada tahun 186 H Imam al-syafi’i
kembali ke Mekkah, dan mengembangkan ilmunya serta berijtihad secara mandiri
dalam rangka menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan
berpindah-pindah tempat, ia juga mengajar di Baghdad (195-197), dan di Mesir
(198-204). Dengan demikian ia sempat membentuk kader-kader yang akan menyebarluaskan ide-idenya
dan bergerak dalam bidang hukum Islam.[11]
Sebagai Ulama yang tempat mengajarnya berpindah-pindah Syafi’I mempunyai
ribuan murid yang berasal dari berbagai penjuru, diantara yang terkenal adalah
: ar-Rabi’ ibn Sulaiman al-Marawi, Abdullah ibn zubair al Hamidi, Yusuf ibn
Yahya ibn Buwaiti, Abu Ibrahim, Ismail ibn Yahya al Mujazani, Yunus ibn Abdul
A’la as-Sadafi, Ahmad ibn Sibti, Yahya ibn Wasir al Misri, Harmalah ibn Yahya
Abdullah at-Tujaibi, Ahmad ibn Hambal, Hasan bin Ali al-Karabisi, Abu Saur
Ibrahim ibn Khalid Yamani al-kalibi, Hasan ibn Ibrahim ibn Muhammad as-Sahab
az-ja’farani.Mereka semua berhasil menjadi Ulama besar dimasanya.
2. Pendidikan, Guru-Guru, dan Murid-Murid Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah mulanya gemar belajar ilmu Qira’at,
Hadits, nahwu, Sastra, Syi’ir, Teologi, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh
terkenal dalam ilmu tersebut Minatnya yang besar terhadap ilmu fiqh,
kecerdasan, ketekunan, dan kesungguhannya dalam belajar, mengantarkan Imam Abu
Hanifah menjadi seorang yang ahli di bidang fiqh.
Keahliannya diakui oleh Ulama semasanya antara lain
oleh Imam Hammad ibn Abi Sulaiman sering mempercayakan tugas kepada Imam Abu
Hanifah untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh dihadapan murid-muridnya. Imam
Khazzaz ibn Sarad juga mengakui keunggulan Imam Abu Hanifah dibidang fiqh dari
Ulama lainnya. Selain ilmu fiqh Imam Abu Hanifah juga mendalami hadits dan
tafsir karena keduanya sangat erat berkaitan dengan fiqh, karena penguasanya
yang mendalam terhadap hukum-hukum islam ia diangkat menjadi mufti kota Kuffah,
menggantikan Imam Ibrahim an- Nakhal.
Imam Abu Hanifah belajar ilmu fiqh itu berasal dari
Ibrahim, Umar dan Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud dan Abdullah ibn
Abbas.Selain itu beliau juga berguru kepada ulama-ulama besar lainnya. Para
Ulama tempat Imam Abu Hanifah belajar di Kuffah antara lain adalah Sya’bi,
Salamah bin Kuhail, Manarib ibn Ditsar, Abu Ishaq Sya’bi, Aun ibn Abdullah, Amr
ibn Murrahb, A’masy, Adib ibn Tsabit al-Anshari, Sama’ ibn Harb, dll. Di Basrah
Imam Abu Hanifah belajar dari Qatadah dan Syu’bah, Ulama Tabi’I termashur yang
telah mempelajari hadits dari sahabat Nabi SAW, Sufyan al- Tsauri disebut
Syu’bah sebagai amir al-Mu’minin fi al-Hadits (pemimpin orang-orang beriman
dibidang hadits). Di Madinah Imam Abu Hanifah belajar dengan Ulama terkenal
Atha’ ibn Abi Rabbah, Di Mekkah Imam abu Hanifah belajar dengan Abdullah ibn
Abbas, dia juga sangat beruntung dapat mempelajari hadits dan beberapa
persoalan fiqh dari Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Aqabah
ibn Umar, Sofwan, Jabir, dan Abu Qatadah.
Setelah terkenal dalam ilmu fiqh banyak penuntut
ilmu yang datang kepadanya untuk berguru dan mengambil ilmu-ilmunya, yang
kemudian menjadi murid-muridnya. Diantara murid - muridnya yang terkenal adalah
:
a. Imam
Abu Yusuf ibn Ibrahim al-Anshari (Dilahirkan pada tahun 113 H dan wafat pada
tahun 182 H )[12].
b. Imam Muhammad ibn Hassan ibn Furqan
Asy-Saibani (lahir di Iraq pada tahun 132 H wafat pada 189 H)
c. Imam Zufar ibn Qais al-Kahfi (lahir pada tahun
110 H wafat pada tahun 158/775 M)
d. Imam Hassan ibn Ziyad al-luluy (wafat pada
tahun 204 H).
3. Pendidikan, Guru-Guru, dan Murid-Murid Imam Malik
Beliau mempelajari ilmu dari
ulama-ulama Madinah, di antara param Tabi’in, para pandai dan para ahli hukum
agama.Guru beliau yang pertama adalah Abdul Rahman Bin Ibn Harmuz, beliau
dididik di tengah-tengah mereka itu sebagai anak yang cerdas pikiran, cepat
menerima pembelajaran, kuat ingatan dan teliti.dari kecil beliau membaca
Al-Qur’an dengan lancar di luar di luar kepala dan mempelajari hadits, setelah
dewasa beliau belajar kepada Ulama dan fuqaha. Beliau menghimpun penegetahuan
mereka, menghafal pendapat-pendapat mereka, menaqal atsar-atsar mereka,
mempelajari pendirian-pendirian atau aliran-alirannya, dan mengambil
kaidah-kaidah mereka sehingga beliau pandai tentang semua itu [13].
Imam Malik mendalami ilmu
pengetahuan selain dari Abdul Rahman ibn Harmuz juga belajar kepada Nafi ibn
Abi nua’im, Maula ibn Umar dan Rabiah al Ra’yi.Imam Malik terkenal sebagai
seorang yang kuat menekuni bidang ilmu keislaman tetapi yang paling disegani
dan ditekuni ialah bidang fiqh dan hadits Rasulullah S.A.W [14].
Imam Malik baru mengajar setelah
lebih dahulu keahliannya mendapat pengakuan dari 70 Ulama terkenal di
madinah.Setelah benar-benar ahli dalam hadits dan ilmu fiqh, Imam Malik
melakukan ijtihad secara mandiri dan mendirikan halaqah, yaitu kelompok
pengajian dengan formasi murid mengelilingi guru.
Adapun
guru-guru beliau sangat banyak antara lain, adalah:
a.
Abd.
Rahman ibn Hurmuz (salah seorang ulama besar di Madinah dari Tabi’in ahli
hadits, fiqh, fatwa dan ilmu berdebat).
b.
Rabi’ah
al-Ra’yu (ulama fiqh wafat pada tahun 136 H)
c.
Imam
Nafi’ Maula ibn Umar (ulama ilmu hadits wafat pada tahun 117 H).
d.
Imam
ibn Syihab al- Zuhry.
e.
Nafi
ibn Abi Nu’aim.
f.
Abu
al-Zinad.
g.
Hasyim
ibn Urwas
h.
Yahya
ibn Sa’id al-Ansari
i.
Muhammad
ibn Munkadir [15].
j.
Said
al-Maqburi
k.
Wahab
ibn Kaisan
l.
Amir
ibn Abdillah ibn az-Zubair
m.
Abdullah
ibn Dinar
n.
Zaid
ibn Hibban, dan
o.
Ayyub
as-Sakhtiyani [16].
Menurut
riwayat yang dinukil Moenawar Cholil, bahwa di antara para guru Imam Malik yang
utama itu tidak kurang dari 700 orang.Di antara sekian banyak gurunya itu,
terdapat 300 orang yang tergolong Ulama tabi’in.
Murid-murid beliau sangat banyak antara lain, ialah:
a.
Asy-Syaibani
b.
Imam
Syafi’i
c.
Yahya
ibn Yahya al-Andalusi
d.
Abdurahman
ibn Kasi (di Mesir)
e.
Asad
al-Furat at-Tunisi
f.
Ibn
Rusyd
g.
Abu
Muhammad Abdullah ibn Zaid.
h.
Ahmad
ad-darbi
i.
Imam
Ahamad as-Sawi
j.
Usman
ibn Hakam
k.
Ibnu
al-Mubarak
l.
Yahya
ibn Said al-Qaththa
m.
Muhammad
ibn al-Hassan
n.
Ibnu
Wahab
o.
Ma’an
ibn Isa
p.
Abdurrahman
ibn Mahdi
q.
Abu
Manshur [17].
4.
Pendidikan, Guru-Guru, dan Murid-Murid Imam Hanbali
Imam Hanbali pertama kali belajar
ilmu pengetahuan Agama dan alat-alatnya, kepada para guru dan para ulama’ di
Baghdad. Imam Ahmad ibn Hanbal adalah Imam yang keempat dari fuqaha’ Islam.[18]
Adapun guru-guru beliau antara lain,
adalah:
a.
Abu
Yusuf al-Qadhi (ilmu fiqh)
b.
Imam
Syafi’i (fiqh)
c.
Sufyan
ibn ‘Uyainah (hadits)
d.
Ibrahim
ibn Sa’ad (hadits)
e.
Yahya
ibn Qaththan
f.
Husyaim
Ibn Bisy
g.
Abdurrazak
ibn Humman
h.
Imair
ibn Abdullah ibn Khalid
i.
Abdurrahman
ibn Mahdi
j.
Abu
Bakar ibn Iyasy[19]
k.
Abdullah
ibn Mubarak
l.
Ismail
ibn Ulaiyah
m.
Waqi
n.
Hammad
ibn Khalid al-Khalid al-Khayyad
o.
Manshur
ibn Salamah al-Khaza’i
p.
Utsman
ibn Umar ibn Faris
q.
Abu
an-Nadhr Hasyim ibn Al-Qasim
Murid-Murid Imam Hanbali antara lain, ialah:
a.
Shaleh
dan Abdullah (anak kandung Imam Ahmad)
b.
Hambal
ibn Ishaq
c.
Al-Hasan
ibn ash-Shabbah al-Bazzar
d.
Muhammad
ibn Ubaidillah al-Munadi
e.
Muhammad
ibn Ismail al-Bukhari
f.
Muhammad
ibn al-Hajjaj an-Naisaburi
g.
Abu
Zur’ah
h.
Abu
Hatim ar-Raziyan
i.
Abu
Dawud as-Sijistani[20]
j.
Ibn
Qudamah
k.
Saleh
l.
Abdullah
ibn Ahmad
m.
Abu
Bakar al-Asram
n.
Abdul
Malik al-Marwazi
C.
Karya-Karya dan Metode Istinbat Empat Imam Madzhab
1.
Karya-Karya
dan Metode Istinbath Imam Syafi’i
a.
Karya-Karya
Imam Syafi’i
Menurut Fuad Sazkin dalam
pernyataannya yang secara ringkasnya bahwa kitab karya Imam al-Syafi’i
jumlahnya mencapai sekitar 113-140 kitab.[21] Murid-murid Imam al-Syafi’i membagi karya Imam Syafi’I menjadi dua
bagian yaitu al-Qadim adalah kitab-kitab karyanya yang ditulis ketika Imam
syafi’i berada di Baghdad dan Mekkah, sedangkan al-hadist adalah kitab-kitab
karyanya yang ditulis ketika berada di Mesir. Diantara Kitab yang termasuk dari
hasil karyanya adalah :
1)
Kitab al-Umm
2)
Kitab ar-Risalah
3)
Kitab al-Musnad
4)
Kitab Ikhtikaf al-Hadits
b.
Metode Istinbath Hukum Madzhab Syafi’i
1.) Al-Qur’an dan As-Sunnah
Imam Al-Syafi’I menegaskan bahwa al-quran dan Sunnah merupakan sumber
pertama syariat ia menyetarakan sunnah dengan al Quran. Sunnah yang sama
derajatnya dengan Al-Quran menurut mazhab Syafi’i adalah Sunnah Mutawatir,
sedangkan Hadits ahad diterima oleh Imam Al-Syafi’i pada posisi sesudah
al-Quran dan hadits mutawatir.
Imam Syafi’I dalam menerima hadits ahad sebagai berikut:[22]
a.) Perawinya terpercaya, ia tidak menerima hadits dari orang yang tidak
dipercaya
b.) Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkan
c.) Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang-orang yang
meriwayatkannya kepadanya
d.) Perawinya tidak menyalahi para ahli ra’yu yang meriwayatkan hadits itu.
2.) Ijma’
Imam al-Syafi’i telah menetapkan ijma’ sebagai hujjah sesudah al-Quran
dan Sunnah sebelum Qiyas. Tetapi mengenai ijma’ tidak terkait dengan riwayat
dari nabi, Imam al-Syafi’i tidak menggunakan sebagai sumber, sebab seseorang
hanya dapat meriwayatkan apa yang ia dengar, tidak dapat ia meriwayatkan
sesuatu berdasarkan dugaan dimana ada kemungkinan bahwa nabi sendiri tidak
mengatakan atau melakukan. Imam al-Syafi’i menggunakan ijma’ berkeyakinan bahwa
setiap Sunnah Nabi pasti diketahui meskipun tidak diketahui oleh sebagian.[23]
3.) Qiyas
Imam al-Syafi’i menggunakan Qiyas apabila tidak ada nashnya didalam
Al-Quran, Al-Sunnah, atau ijma’, maka harus ditentukan dengan qiyas.[24]
2. Karyanya-Karya dan
Metode Istinbath Imam Abu Hanifah
a. Karya-Karya
Imam Abu Hanifah
Sebagian ide dan buah pikirannya ditulisnya sendiri
dalam bentuk buku, tetapi kebanyakan dihimpun oleh murid-muridnya untuk
kemudian. Kitab-kitab yang ditulisnya sendiri antara lain:
1) Al-faraid
yang khusus membicarakan masalah waris dan segala ketentuannya menurut hukum
islam.
2) Al-Syurt
yang membahas perjanjian.
3) Al-fiqh
al-Akhbar yang membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah (penjelasan
oleh imam Abu Mansur Muhammad al-Maturudi dan Imam Abu Muntaha al-Maula Ahmad
ibn Muhammad al-Maqnisawi)[25].
Jumlah
kitab yang ditulis muridnya yang dijadikan pegangan pengikut Mazhab
Hanafi.Ulama Mazhab Hanafi membagi kitab-kitab itu menjadi tiga tingkatan yaitu
:
1) Tingkat
masa’il Al-Ushul (masalah-masalah pokok) yaitu kitab yang berisi
masalah-masalah yang langsung diriwayatkan dari Imam Hanafi dan
sahabat-sahabatnya disebut juga zahir Al-Riwayah yang terdiri dari enam kitab :
a) Kitab
Al-Mabsud (buku yang terbentang).
b) Kitab
Al-jami’ As-Saghir (Himpunan Riwayat).
c) Kitab
Al-Jami’ Al-Kabir (Himpunan Lengkap).
d) Kitab As-Sair Al-Kabir (Sejarah Lengkap).
e) Kitab Az-Ziyyadah (Tambahan)
Pada
awal ke-4 Hijriah ke enam buku ini dihimpun dan disusun menjadi satu oleh Imam
Abdul Fadl Muhammad ibn Ahmad al-Marazi dengan nama “Al Kafi’ (yang memadai)
yang kemudian diberi penjelsan oleh Imam Muhammad ibn Muhammad ibn Sahal
as-Sarkhasi dengan nama “Al-Mabsuth” (yang menuai).
2) Tingkat
Al-Masa’il An-Nawazir (masalah tentang sesuatu yang diberikan sebagai nazar)
yaitu kitab yang berisi masalah-masalah fiqh yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah
dan sahabat-sahabatnya dalam kitab selain zahir ar-riwayah.
3) Tingkat
al-Fatawa wa al-Waqi’at (fatwa-fatwa dalam permasalahan)yaitu kitab-kitab yang
berisi masalah-masalah fiqh yang berasal dari istinbath (pengambilan hukum dan
penetapannya) [26].
b.
Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah
Hasbiy Ash-Siddieqy mengutip pendapat Sahal Ibn
Mujahim dalam menerangkan dasar-dasar Imam Abu Hanifah dalam menegakkan
fiqihnya yaitu :
“Abu Hanifah memegangi riwayat orang-orang yang
kepercayaan dan menjauhkan diri dari keburukan dan memperhatikan muamalat
manusia dan adat serta ‘urf mereka itu, beliau memegangi Qiyas. Kalau tidak
baik dalam suatu masalah didasarkan qiyas, beliau memegangi istihsan selama
yang demikian itu dapat dilakukan, kalau tidak beliau berpegang kepada adat dan
‘urf [27]. Berdasarkan keterangan
diatas metode istimbath hukum Imam Abu Hanifah didasarkan tujuh hal pokok
yaitu:
1)
Al Quran,
merupakan pilar utama syariat dan sumber dari segala sumber hukum.
2) Sunnah, Imam Abu Hanifah sangat selektif dalam
penerimaan hadis, dia hanya berpegang kepada keabsahan riwayat. Pada prinsipnya
Abu Hanifah tidak menerima hadis Rasulullah SAW, kecuali jika diriwayatkan oleh
sekelompok orang yang kolektif, atau para ahli fiqh sepakat mengamalkan.
3) Perkataan
Sahabat, Perkataan sahabat memperoleh posisi kuat dalam pandangan imam Abu
Hanifah, karena menurutnya mereka adalah orang yang langsung membawa ajaran
Rasulullah SAW sesudah beliau wafat, pengetahuan dan pernyataan keagamaan
mereka lebih dekat kepada kebenaran, karena meraka tahu sebab-sebab turunnya
ayat-ayat al Quran serta bagaimana kaitannya dengan hadis-hadis Rasulullah SAW.
4) Qiyas
Karena Imam Abu Hanifah sangat selektif dalam penerimaan hadis, maka konsekunsinya logisnya sangat luas dalam pemakaian qiyas. Apabila suatu persoalan belum ada ketentuan hukumnya dalam al Quran dan sunnah dan perkataan sahabat, maka imam Abu Hanifah menggunakan qiyas sebagai salah satu metode penetapan hukum.
Karena Imam Abu Hanifah sangat selektif dalam penerimaan hadis, maka konsekunsinya logisnya sangat luas dalam pemakaian qiyas. Apabila suatu persoalan belum ada ketentuan hukumnya dalam al Quran dan sunnah dan perkataan sahabat, maka imam Abu Hanifah menggunakan qiyas sebagai salah satu metode penetapan hukum.
5) Istihsan
6) Adat
yang telah berlaku di dalam masyarakat ummat islam [28].
3.
Karya-Karya
dan Metode Istinbath Imam Malik
a. Karya-Karya Imam Malik
Karya-karyanya yakni berupa kitab-kitab yang dikarang Imam Malik
adalah:
1)
Kitab
al- Muwaththa’, yang merupakan kitab yang dikarang Imam Malik dalam bentuk
hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan masalah fiqh.
2)
Kitab al-Mudawwanah al-Kubra, yang
merupakan kitab didalamnya termuat pendapat-pendapat Imam Malik seputar hukum
Islam.
b.
Metode
Istinbath Hukum Imam Malik
Abu Zahrah merumuskan secara ringkas
sistematika sumber hukum mazhab maliki yang dijelaskan Qadi ‘Iyadh dalam kitab
al-Madarik dan penjelasan Rasyid dari kalangan fuqaha’ Malikiyyah dalam kitab
al- Bahjah. Sebagai berikut:
1)
Al-Kitab
2)
Al-Sunnah
3)
Amal
Ahli Madinah
4)
Fatwa
Shahabat
5)
Al-Qiyas
6)
Maslahah
Mursalah
7)
Istihsan, dan
8)
Al-
Dzari’ah [29].
Berikut ini
akan penulis uraikan tentang penggunaan dalil dan istinbath hukum Imam Malik:
1)
Al-Kitab
Seperti halnya para Imam Mazhab yang
lain, Imam Malik meletakkan al-Qur’an di atas semua dalil karena al-Qur’an
merupakan pokok syari’at dan hujahnya. Imam Malik mengambil dari:
a)
Nas
yang tegas yang tidak menerima takwil dan mengambil bentuk lahirnya.
b)
Mafhum
muwafaqah atau fahwa al-khitab, yaitu hukum
yang semakna dengan satu nas (al-Qur’an dan Hadits) yang hukum sama dengan yang
disebutkan oleh nas itu sendiri secara tegas.
c)
Mafhum
mukhalafah iaitu penetapan
lawan hukum yang diambil dari dalil yang disebutkan dalam nas pada suatu yang
tidak disebutkan dalam nas.
d)
‘llat-‘illat
hukum (sesuatu sebab yang menimbulkan adanya hukum).
2)
Al-Sunnah
Sunnah menduduki tempat kedua
setelah al-Qur’an. Sunnah yang diambil oleh Imam Malik ialah:
a)
Sunnah
Mutawatir
b)
Sunnah
Masyur, baik kemasyurannya itu ditingkat tabi’in ataupun tabi’at tabi’in.
Tingkat kemasyuran setelah generasi tersebut si atas tidak dapat
dipertimbangkan.
c)
Khabar
Ahad yang didahului atas praktek penduduk Madinah dan qiyas. Akan tetapi
kadang-kadang khabar ahad itu bisa tertolak oleh qiyas dan maslahat.
3)
Amal Ahli Madinah.
Hal ini dipandang sebagai hujah,
jika praktek itu benar-benar dinukilkan dari Nabi S.A.W. sehubungan dengan itu
praktek penduduk Madinah yang dasarnya ra’yu bisa didahulukan atas khabar
ahad.Imam Malik mencelah ahli fiqh yang tidak mau mengambil praktek peenduduk
Madinah, bahkan menyalahi.
4)
Fatwa
Sahabat.
Fatwa ini dipandang sebagai Hadits
yang wajib dilaksanakan. Dalam kaitan ini Imam Malik mendahulukan Fatwa sebagai
sahabat dalam soal manasik haji dan meninggalkan sebahagian yang lain, dengan
alasan sahabat yang bersangkutan tidak melaksanakan karena hal ini tidak
mungkin dilakukan tanpa adanya perintah dari Nabi S.A.W sementara itu, masalah
manasik haji tidak mungkin bisa diketahui tanpa adanya penukilan langsung dari
Nabi S.A.W. Imam Malik juga mengambil fatwa tabi’in besar, tetapi tidak
disamakan kedudukannya dengan fatwa sahabat.
5)
Al-Qias
Imam Malik mengmbil Qias dalam
pengertian umum yang merupakan penyamaan hukum perkara, yakni hukum perkara
yang tidak ditegaskan dengan hukum yang ditegaskan. Hal ini disebabkan adanya
persamaan sifat (‘illat hukum).
6)
Maslahah
Mursalah
Maslahah al-mursalah, yaitu
kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula
dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk
ini terbagi dua, yaitu:
a)
Al-Mashlahah
al-gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali
tidak ada dukungan dari syara’.
b)
Al-Mashlahah
al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang
rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits) [30].
4.
Karya-Karya
dan Metode Istinbath Imam Malik
a.
Karya-Karya
Imam Hanbali
Imam Ahmad ibn Hanbal selain seorang
ahli megajar dan ahli mendidik, ia juga seorang pengarang. Ia mempunyai
beberapa kitab yang telah disusun dan direncanakannya, yang isinya sangat
berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya. Di Antara kitab-kitabnya
adalah sebagai berikut:
a.
Kitab
al-Musnad
b.
Kitab
Tafsir al-Qur’an
c.
Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh
d.
Kitab al-Muqaddam wa al-Muakhkhar fi al-Qur’an
e.
Kitab Jawabat al-Qur’an
f.
Kitab al-Tarikh
g.
Kitab Manasik al-Kabir
h.
Kitab Manasik al-Shaghir
i.
Kitab Tha’at al-Rasul
j.
Kitab al-‘Illah
k.
Kitab al-Shalah [31]
l.
Kitab al-Zuhud
m.
Kitab al-Ra’du ‘Ala al-Jahmiah
n.
Kitab Hadits Syu’bah
o.
Kitab Nafyu al-Tasybih
p.
Kitab
al-Shahabah.
b.
Metode Istinbath
Prinsip dasar kaidah istinbath hukum
Mazhab Ahmad ibn Hanbal dalam menetapakan hukum adalah:
a.
Mengambil
nash al-Quran atau Sunnah Nabi Muhammad
Mengambil nash al-Quran atau Sunnah
Nabi Muhammad. Jika beliau menemukan nash dari al-Quran dan Sunnah, tidak mau
melirik yang lainnya.
b.
Fatwa
para sahabat Nabi SAW
Apabila ia tidak mendapatkan suatu
nash yang jelas, baik dari al Qur’an maupun dari hadits shahih, maka ia
menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di
kalangan mereka
c.
Fatwa
pada sahabat Nabi yang timbul dalam perselisihan
Fatwa para sahabat Nabi yang timbul
dalam perselisihan di antara mereka dan diambilnya yang lebih dekat kepada nash
al-Quran dan Sunnah. Apabila Imam Ahmad tidak menemukan fatwa para sahabat Nabi
yang disepakati sesama mereka, maka beliau menetapkan hokum dengan cara memilih
dari fatwa-fatwa mereka yang ia pandang lebih dekat kepada al-Qur’an dan
Sunnah.
d.
Qiyas
Apabila Imam Ahmad tidak mendapatkan nash dari yang sudah
dijelaskan di atas maka Imam Ahmad dalam
menetapkan hukum menggunakan qiyash. Kadang-kadang Imam Ahmad pun menggunakan
al-mashlahah al mursalah terutama dalam siyasah.[32]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa imam
madzhab merupakan para imam – imam mujtahid yang menggali hukum – hukum baik
dalam Al – Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad, serta Ijma’ dan juga Qiyas. Selain
itu, dalam karya – karya yang muncul dari para imam madzhab sampai pada saat
ini menjadi rujukan bagi umat muslim yang ingin mendalami ilmu agama, serta
dapat mengetahui bagaimana hukum – hukum dalam melakukan suatu amalan maupun
perbuatan. Dengan adanya pemikiran dari imam madzhab maka umat muslim mampu
mengetahui aturan – aturan dasar dalam beragama serta yang terutama dalam
masalah ibadah atau yang disebut dengan fiqh.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kata
sempurna dan masih terdapat kesalahan – kesalahan yang belum diperbaiki oleh
penulis. Untuk penulis sangat berterimakasih jikalau para pembaca memberikan
kritik dan saran yang membangun guna membantu penulis dalam penulisan makalah
selanjunya dapat menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
al-Minsyawi M.Shiddiq, 2007, 100
Tokoh Zuhud, Jakarta: Senayan Abdi
Publishing
asy-Shiddeqy Muhammad Hasbi, 1997, Pengantar
Ilmu Fiqh,Semarang; Pustaka
Rizki Putra,
Cet Ke-1
Ash-Shiddiqy M.Hasbie, Pengantar
Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, th
Asy-Syurbasy Ahmad, 1992, Sejarah
dan Biografi Empat Imam Madzhab, Alih
Bahasa Sabil
Huda dan H.A Ahmadi, Jakarta: Bumi Aksara
Chalil Munawar, 1995
Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta: Bulan
Bintang
Farid Syaikh Ahmad, 2006, 60
Biografi Ulama Salaf, cet. 1, Jakarta: Pustaka al-
Kautsar
Haroen Nasrun, 1996, Ushul fiqh I,Jakarta:
Logos, Cet. Ke-I,
Syafi’I Imam, 1986, Ar-Risalah, Terjem. Ahmadie Thaha,
Jakarta: Pustaka
Firdaus
Syalthut Muhammad,2000, Fiqh
Tujuh Mazhab,Bandung:CV Pustaka Setia,Cet. 1,
Yanggo Huzeamah Tahido, 1976, Pengantar
Perbandingan Mazhab, Jakarta:
Logos,
Zulkayandri, 2008, Fiqh Muqaran,
Program Pascasarjana UIN Suska Riau, Cet.
Ke-1,
[1]M.Shiddiq
al-Minsyawi, 100 Tokoh Zuhud, (Jakarta: Senayan Abdi Publishing, 2007),
hlm. 431.
[2]Huzeamah Tahido
Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1976), hlm. 121.
[4]Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, cet. 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2006), hlm. 355.
[5]Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, cet. 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2006), hlm.169.
[7]Huzaimah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997),
Cet.Ke-1, hlm. 103.
[8]Moenawar
Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang,
1955), hlm. 250.
[9]Moenawar
Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, hlm. 304.
[10]Munawar Chalil,
Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, hlm. 304
[11]Ahmad
Asy-Syurbasy, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, Alih Bahasa Sabil
Huda dan H.A Ahmadi, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 149.
[14] Muhammad
Hasbi asy-Shiddeqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang; Pustaka Rizki
Putra,1997), Cet Ke-1, hlm. 120
[15] Huzaimah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997),
Cet.Ke-1, hlm.104
[16]Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, cet. 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2006), hlm.104.
[17]Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, cet. 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2006), hlm.274.
[18]Huzaimah Tahido
Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), Cet.Ke-1,
hlm 138-139.
[19]Muhammad
Syalthut, Fiqh Tujuh Mazhab, (Bandung:CV Pustaka Setia, 2000), Cet. 1,
hlm. 19.
[20]Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Penerj. Masturi Irham, Asmu’I Taman,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), Cet. Ke-1, hlm. 459.
[22]Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar
Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), Cet.Ke-1, hlm. 129.
[27]T.M.Hasbie
Ash-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, th),
hlm.100.
[29]Zulkayandri,
Fiqh Muqaran, (Program Pascasarjana UIN Suska Riau, 2008), Cet. Ke-1,
hlm.55-56.
[30]Nasrun Haroen, Ushul
fiqh I, (Jakarta: Logos, 1996), Cet. Ke-I, hlm. 119.
[31] Huzeamah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1976),
hlm. 108
[32]Huzeamah Tahido
Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1976), hlm. 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar