BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Qunut subuh merupakan polemik yang
sering kita jumpai di masyarkaat muslim di dunia terutama di Indonesia, bahkan
tidak jarang terjadi pertikaian sesama muslim hanya karena berselisih pendapat
seputar qunut subuh.
Dalam
permasalahan ini, ulama ahlus sunnah ada yang menetapkan hukum qunut subuh
sunnah ab’ad ada pula yang mengatakan bahwa qunut subuh tidak disunnahkan atau
suatu perkara yang tidak ada dasarnya dalam syariat. Hebatnya, kedua pendapat
di atas masing-masing memiliki dalil yang menguatkan pendapatnya.
Oleh karena
itu dalam makalah ini penulis mencoba untuk menjabarkan pendapat ulama yang
membolehkan qunut subuh dan yang menolak qunut subuh beserta dalilnya masing-masing.
B.
Rumusana Masalah
1.
Apa pengertian Qunut?
2.
Bagaimana pendapat ulama seputar Qunut
Subuh?
3.
Bagaimana dalil doa Qunut?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Qunut.
2. Untuk mengetahui pendapat ulama seputar Qunut Subuh.
3. Untuk mengetahui dalil doa Qunut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qunut
Qunut secara bahasa diambil dari fi’il tsulasy “قَنَتَ-يَقْنُتُ”
yang memiliki banyak arti di antaranya qunut berarti diam, ayat yang semakna
dengan ini adalah firman Allah swt.,
حَافِظُواْ عَلَى
الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah semua shalat itu dan shalat Wusthā. Dan
laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan khusyuk
(baca:
diam).
(Q.S. al-Baqarah: 238).
Qunut berarti berdiri lama, semakna dengan ini hadis
Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdullah,
سُئِلَ رِسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ:
أَيُّ الصَّلاَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: طُوْلُ الْقُنُوْتِ.
Rasulullah saw. pernah ditanya, “Bagaimanakah
sholat yang paling utama?” Maka beliau menjawab, “Yaitu yang lama berdirinya.” (HR. Muslim)
Qunut
berarti ta’at, berdasarkan firman Allah swt.,
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا
فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا
وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ
“Dan
(ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, Maka Kami tiupkan
ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan Dia membenarkan kalimat
Rabbnya dan Kitab-KitabNya, dan Dia adalah Termasuk orang-orang yang taat.” (Q.S.
at-Tahrim:12)
Qunut berarti dzikir, berdasarkan firman Allah
swt.,
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاء اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ
الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ
“Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya?" (Q.S. az-Zumar: 9)
Adapun pengertian qunut secara istilah adalah do’a
dalam shalat. Al-Baji mengatakan bahwa qunut adalah do’a pada akhir shalat.[1]
Sedangkan menurut syara’, adalah: “Do’a tertentu yang dibaca dalam
shalat dan masih dalam keadaan berdiri.”
Para ulama membagi do’a qunut menjadi 3
bagian, antara lain:
1. Qunut Ash-Shubhi/ Al-Fajri adalah do’a qunut yang dibaca dalam shalat
subuh.
2. Qunut An-Nazilah adalah do’a qunut yang dibaca dalam keadaan di mana
Islam atau orang Islam sedang mendapatkan cobaan atau musibah.
3. Qunut Al-Witri adalah do’a qunut yang dibaca dalam shalat witir.[2]
Asbabul wurud qunut
Sebab-sebab qunut ini, dapat dipahami dari hadist-hadist yang
menjelaskan terjadinya musibah yang sangat mencekam pada suatu kaum akibat
pertikaian dan pembunuhan antara golongan. Yaitu yang terkenal dengan pembunuhan
antara bani Salim dengan bani Amir di lembah Bir al-Ma’unah. Dari kejadian
inilah Nabi Muhammad Saw melakukan qunut (Nazilah). Ada juga qunut yang
dimunajatkan Nabi saw yang di khususkan kepada orang-orang mukmin yang sangat
lemah dan mengutuk kepada orang kafir quraisy, banyak hadis yang menjelaskan
kejadian secara yang dirasa berat dan sulit diatasi, maka nabi berdoa qunut
dalam shalatnya.
Beberapa kitab yang mengungkap sebeb-sebab turunya hadis qunut, di
antaranya adalah syarah-syarah kitab sunan dan asbabul wurud, ternyata
kebanyakan hanya menerangkan tentang terjadinya qunut di sebabkan adanya
kejadian (Nazilah) yang di sebut dengan qunut nazilah. [3]
B. Pendapat Empat
Imam Madzhab Tentang Qunut
1. Imam Syafi’i
Do’a Qunut merupakan salah satu sunah ab’ad shalat,
maka apabila seseorang meninggalkan seluruhnya atau sebagianya, atau tidak
membaca sholawat kepada Rasulullah setelah qunut hendaklah sujud sahwi. Menurut
Imam Syafi’i do’a qunut dilakukan setelah rukuk dan dianjurkan untuk mengangkat
kedua tangan.[4]
Ketahuilah bahwa qunut didalam shalat subuh hukumnya
sunnah berdasarkan para hadits shahih. Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah
senantiasa membaca doa qunut di dalam sholat subuh sampai akhir hayatnya.
(diriwayatkan oleh Al Hakim Abu Abdillah didalam kitab Arba’in).
2. Imam Hanafi
Madzhab
Hanafiyah mengatakan bahwa hukum qunut pada sholat subuh adalah tidak
disyariatkan (ghoiru masyru’). Menurut madzhab ini, pada awalnya rasulullah
telah melaksanakan qunut akan tetapi kemudian telah dinasakh (dihapuskan)
hukumnya. Berdasarkan dalil berikut yang artinya: “ dari Anas bin Malik bahwa
Rasulullah SAW melakukan qunut selama sebulan kemudian meninggalkannya.” (HR.
Ahmad). Al Imam Abu Hanifah tegas mengatakan bahwa qunut pada sholat subuh itu
hukumnya bid’ah. Dari kalangan sahabat Nabi Muhammad pun terdapat yang
membid’ahkan juga seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Darda’. [5]
3. Imam Hambali
Hambaliyah
berpendapat bahwa doa qunut adalah sunah dalam sholat witir pada rokaat pertama
sepanjang tahun, dilakukan setelah ruku’, sebagaimana as Syafi’i dalam sholat
witir pada bulan Ramadhan. Akan tetapi, qunut dalam sholat subuh ataupun
lainnya tidak di
4. Imam Maliki
Madzhab
ini menyebutkan bahwa hukum qunut pada sholat subuh adalah mustahab (disukai)
dan fadhilah (lebih utama). Namun dalam pandangan madzhab ini, do’a qunut
dibaca dengan bacaan sir (lirih) tanpa bersuara. Dan ketika membaca qunut tidak
perlu mengangkat kedua tangan serta dilakukan sebelum rukuk. Terdapat hadist
Nabi bahwa “Rasulullah Saw tetap melekukan Qunut shalat fajar hingga
meninggal dunia.” (HR. Ahmad dan Baihaqi).
C. Dalil Qunut
Sesungguhnya
membaca qunut di dalam sholat subuh adalah permasalahan cabang ilmu fiqih. Dan
hendaknya kaum muslimin tidak menjadi berselisih dan bermusuhan karenanya. Para
ulama ahli fiqih telah berbeda pendapat dalam masalah ini.
1. Yang
membolehkan qunut subuh
Ulama yang
membolehkan qunut subuh adalah para ulama dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah.
Termasuk di antaranya Ibnu Abi Laili, al-Hasan bin Shalih yang diriwatkan dari
Abu Musa al-Asy’ary, Ibnu Abas, dan Abu Bakar.
Imam
an-Nawawi berkata, “ketahuilah! Bahwasannya qunut itu
disyariatkan kepada kita didalam sholat subuh, dan hukumnya adalah Sunnah
muakad (Sunnah yang dikuatkan). Hal itu didasarkan pada hadist yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra.
عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ قَالَ: «مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ
حَتَّى
فَارَقَ الدُّنْيَا
Dari
Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw. senantiasa melakukan qunut pada shalat
subuh sampai Beliau meninggalkan dunia”
Para ulama
madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila seseorang meninggalkan qunut maka sholatnya sah tetapi ia harus melakukan sujud
sahwi, baik ia meninggalkan qunut secara sengaja maupun tidak.
Adapun tempat pelaksannan qunut adalah setelah ruku’
pada rekaat yang kedua. Apabila ia melakukan qunut sebelum ruku’ maka tidak
dihitung sebagai qunut. Ia diwajibkan untuk mengulang kembali qunutnya setelah
ia melakukan ruku’, kemudian melakukan sujud sahwi sebelum mengucapkan salam (al-mausuu’ah
al-fiqhiyyah al-quwaytiyyah).[6]
Telah
diriwayatkan beberapa perkataan para sahabat dan tabi’in mengenai qunut didalam
subuh. Diantaranya perkataan Ali bin Ziyad yang mengatakan wajibnya melakukan
qunut didalam sholat subuh. Ia mengatakan “barang siapa yang meninggalkan qunut
subuh maka sholatnya tidak sah”. Imam Abdul Wahab al-Baghdadi mengatakan,
diriwayatkan dari Abi Roja al-‘Athoridi, beliau berkata, “qunut subuh itu
setelah ruku’.
Sesungguhnya pendapat
para ulama yang bermadzhab Syafi’i yang dianggap paling kuat dalam masalah ini.
Adapun dalil-dalil yang dijadikan sebagai sandaran adalah hadits Anas bin
Malik, “bahwa Rasulullah SAW tetap melakukan qunut subuh sampai akhir
hayatnya”. Anas pernah ditanya oleh seseorang “apakah nabi melakukan qunut
ketika sholat subuh?”, iya menjawab “iya”. “Sebelum ruku’ atau setelah ruku’?”,
iya menjawab “setelah ruku”. (HR. Muslim, Abu Dawud).[7]
2. Yang tidak
membolehkan qunut subuh
Ulama yang
tidak memperbolehkan yaitu madzhab golongan Hanafi, Hambali, Ibnul Mubarak,
Tsauri dan Ishak. Qunut
dalam sholat subuh itu tidak disyariatkan kecuali apbila terjadi bahaya. Dan
kalu terjadi bahaya itu, maka bukan hanya dalam sholat subuh saja disunatkan
berqunut tapi juga dalam semua sholat fardhu.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi yang
menganggapnya sebagai hadits sohih dari Abu Malik al Asyjai, katanya:
عن سعد بن طارق الأشجعي قال: قلت
لأبي: يا أبي إنك قد صليت خلف رسول الله
–صلى الله عليه وسلم- وأبي بكر وعمر
وعثمان وعلي فكانوا يقنتون في الفجر؟ أي بني محدث"
“Dari Saad bin Thariq al-Asyja’iy
berkata, “Aku bertanya kepada bapakku: ‘Wahai bapak! Sesungguhnya engkau pernah
shalat di belakang Rasulullah saw. Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Apakah
mereka qunut pada shalat Subuh?’ Beliau menjawab: ‘Tidak benar wahai anakku!
Itu perkaara baru.”
Juga dari
Ibnu Hibban, Al Khatib dan Ibnu Khuzaimah dan dianggapnya sebagai hadits hasan,
dari Anas:
“Nabi SAW itu tidak pernah berqunut
dalam sholat subuh kecuali bila untuk mendoakan kebaikan atau kebinasaan
sesuatu kaum.”
Ibnu Abi
Syaibah meriwayatkan dari ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abas, Inmu Zubair dan
kholifah-kholifah yang tiga (Abu Bakar, Umar dan Utsman) bahwa beliau-beliau
semua tidak ada yang berqunut dalam sholat subuh.[8]
BAB III
KESIMPULAN
Qunut secara bahasa diambil dari fi’il tsulasy “قَنَتَ-يَقْنُتُ”
yang memiliki banyak arti di antaranya qunut berarti diam, berdiri lama,taat
dan dzikir, Adapun pengertian qunut secara istilah
adalah do’a dalam shalat. Al-Baji mengatakan bahwa qunut adalah do’a pada akhir
shalat.
Pendapat ulama tentang qunut subuh ada yang
membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Yang membolehkan yaitu madzhab
Syafi’i dan madzhab Maliki. Hal ini adas dasar:
عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ قَالَ: «مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى
فَارَقَ الدُّنْيَا
Dari
Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw. senantiasa melakukan qunut pada shalat
subuh sampai Beliau meninggalkan dunia”
Ulama yang tidak memperbolehkan yaitu madzhab
golongan Hanafi, Hambali, Ibnul Mubarak, Tsauri dan Ishak. Qunut dalam sholat subuh itu tidak disyariatkan
kecuali apbila terjadi bahaya. Dan kalu terjadi bahaya itu, maka bukan hanya
dalam sholat subuh saja disunatkan berqunut tapi juga dalam semua sholat
fardhu.
DAFTAR PUSTAKA
ad-Dimasyqi, Al
Allamah Muhammad bin Abdurrahman. 2014. Fiqih 4 Madzhab, terj. ‘Abdullah
Zaki Alkaf. Bandung: Hasyimi.
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=hukum+bacaan+qunut&oq=#d=gs_qabs&p=&u=%23p%3DvKeZYupq6olJ
Jum’ah, Ali. 2014. Fiqih Rahmatan Lil Alamin Menjawab Problematika Umat. Yogyakarta: CV. Pustaka Ilmu Group.
Muslih, Muhammad Hanif. 1996. Kesahihan Dalil Qunut
Menurut Syariat Islam. Semarang: Ar-Ridha.
Sayid, Sabiq. 1982. Fikih Sunnah. Bandung:
PT Al Ma’arif.
Al-Zuhaili, Wahabah.
2004. Fiqh Sholat Kajian Berbagai Madzhab. Bandung: Pustaka Media Utama
Http://fadilmahmud.blogspot.co.id/2014/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html?m=1
[1]https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=hukum+bacaan+qunut&oq=#d=gs_qabs&p=&u=%23p%3DvKeZYupq6olJ
[2]Muhammad Hanif Muslih, Kesahihan Dalil Qunut Menurut Syariat Islam,
(Semarang: AR-RIDHA, 1996), hlm. 7-9.
[3]http://fadilmahmud.blogspot.co.id/2014/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html?m=1
[4]Wahabah
Al-Zuhaili, Fiqh Sholat Kajian Berbagai Madzhab, (Bandung: Pustaka Media
Utama, 2004), hlm. 343.
[5]Al Allamah
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih 4 Madzhab, terj. ‘Abdullah
Zaki Alkaf, Bandung: Hasyimi, 2014), hlm. 61.
[6]Ali Jum’ah, Fiqih
Rahmatan Lil Alamin Menjawab Problematika Umat, Yogyakarta: CV. Pustaka
Ilmu Group, 2014, hlm. 296-297.
[7]Ibid., hlm. 298
Tidak ada komentar:
Posting Komentar