BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Membaca
surat Al-Fatihah dalam pandangan jumhur ulama’ adalah rukun shalat. Dan kita
ketahui bahwa yang namanya rukun itu tidak boleh ditinggalkan, karena
meningggalkan salah satu rukun mengakibatkan ibadah itu menjadi tidak sah atau
tidak diterima. Namun para ulama madzhab berbeda pendapat dalam masalah fatihah
jika shalat dikerjakan secara berjama’ah. Yang di ikhtilafkan adalah apakah
makmum wajib membaca al-fatihah juga atau bacaan imam sudah mencukupi, artinya
makmum diam tidak perlu membaca alfatihah. Perbedaan para ulama madzhab
disebabkan karena adanya dalil-dalil yang dzahirnya saling bertentangan, antara
yang mewajibkan membaca al fatihah dan perintah untuk mendengarkan bacaan imam
bagi makmum. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan membahas tentang
B.
Rumusan
Masalah?
1.
Bagaimana
hukum membaca al fatihah dalam shalat?
2.
Bagaimana
hukum membaca al fatihah bagi makmum dalam sholat berjama’ah menurut madzhab
Hanafi, Syafi’I, Maliki dan Hambali?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui hukum membaca al fatihah dalam shalat
2.
Untuk
mengetahui hukum membaca al fatihah bagi makmum dalam sholat berjama’ah menurut
madzhab Hanafi, Syafi’I, Maliki dan Hambali
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dalil yang Menyatakan Wajibnya Membaca
Al Fatihah dalam Sholat
1. Rasulullah SAW bersabda
لاَ صَلاَةَ اِلاَّ
بِقِرَاءَةٍ
“Tidaklah
sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.”
2.
Hadis
yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Shamit ra, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW
shalat subuh dan beliau mengeraskan bacaannya. Stelah selesai sholat beliau
bersabda, “Saya melihat kalian membaca di belakang imam? “Kami menjawab,
“Benar, demi Allah, wahai Rasulullah”. Kemudian Rasulullah bersabda:
لاَ
تَفْعَلُوْا اِلاَّ بِأُمِّاالْقُرْاَنِ فاَِنَّهُ لاَ صَلاَ ةَ لِمَنْ لَمْ
يَقْرَأْ بِهاَ
Artinya:
“Jangan kamu semua lakukan, kecuali dengan Ummul Qur’an, karena sesungguhnya
tidak ada shalat bagi orang yang membacanya.” (HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi)
3.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ
فِيْهاَ بِأُمِّ الْكِتاَبِ فَهِيَ خِدَاجٌ غَيْرُ تَماَمٍ
Artinya:
“Barang siapa yang shalat di dalamnya tanpa membaca ummul kitab (Fatihah),
maka shalat itu kurang, tegasnya tidak sempurna.” (HR. Imam Muslim dan Abu
Dawud) [1]
B. Dalil yang Diartikan sebagian Ulama bahwa
Bacaan Al-fatihah Imam Mencukupi
Makmum
1.
Al-Qur’an
surah Al-A’raf ayat 204
#sÎ)ur Ìè% ãb#uäöà)ø9$# (#qãèÏJtGó$$sù ¼çms9 (#qçFÅÁRr&ur öNä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇËÉÍÈ
Artinya:
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah, baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (Al-A’raf (7) :
204).
2.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Syaddaad dari Jabir bin Abdullah
مَنْ صَلَّى خَلْفَ اِماَمٍ فَاِنَّ قِرَاءَةَاْلاِماَمِ لَهُ قِرَاءَةٌ
Artinya:“Barangsiapa
yang mengerjakan shalat di belakang imam (bermakmum), maka sesungguhnya bacaan
imam adalah menjadi bacaannya.”
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Abi
Hurairah r.a., ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda
اِنَّماَ جُعِلَ الْاِ ماَمُ لِيُؤْ
تَمَّ بِهِ فَاِذَا كَبَّرَ فَكَبَِرَوْاوَاِذَقَرَأَفاَنْصِتُوْا.
Artinya: “Imam itu untuk
diikuti, apabila ia takbir, takbirlah kamu, dan apabila ia membaca, diamlah
kamu.”
4. Hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidina
Ali bin Abi Thalib r.a., ia berkata:
لَيْسَ
عَلىَ الْفِطْرَةِ مَنْ قَرَأَ خَلَفَ الْاءِماَمِ
Artinya: “ Tidaklah berada pada
fitrah (agama) orang yang membaca di belakang imam.” [2]
C.
Perbedaan
Pandangan Dikalangan Ulama Madzhab tentang Bacaan Al- Fatihah bagi Makmum
1. Madzhab Hanafiyah
Madzhab Hanafi
berpendapat bahwa seorang makmum tidak wajib membaca surat Al-Fatikhah secara
mutlak. Baik dalam keadaan shalat siriyyah maupun dalam shalat jahriyah.
Adapun dalil yang menjadi hujjah Ulama Hanafiyah yaitu dengan nash Al-Qur’an,
Al-Hadis, dan Qiyas.
a. Adapun nash Al-Qur’an yaitu firman Allah
SWT:
Artinya: “Dan
apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf (7) : 204)
Al-Baihaqi meriwayatkan
dari Imam Ahmad, ia berkata, “Telah terjadi ijma’ bahwa ayat ini berhubungan
dengan shalat”. Dan ia meriwayatkan dari Mujaahid bahwa Rasulullah SAW membaca
dalam shalat, lalu Beliau SAW mendengar seorang pemuda anshar ikut membaca,
maka turunlah ayat tersebut.[3]
b. Adapun Al-Hadis yang menjadi hujjah,
yaitu di antaranya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu hanifah dai
Abdullah bin syaddad dari Jabir bin Abdullah r.a. bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ صَلىَّ خَلْفَ اِماَمٍ فَاِنَّ
قِرَاةَ الْاِماَمِ لَهُ قِرَاءَةٌ
Artinya:“Barangsiapa
yang mengerjakan shalat di belakang imam (bermakmum), maka sesungguhnya bacaan
imam adalah menjadi bacaannya.”
Hadis
ini bersifat umum, baik pada shalat
jahriyah maupun shalat sirriyah. Dalam
sebuah riwayat disebutkan, bahwa ada seorang laki-laki membaca dibelakang
Rasulullah SAW pada shalat dzuhur atau shalat ashar (bacaan sirriyah). Maka
seorang sahabat yang mendengarnya lalu melaang orang itu. Setelah selesai
shalat, ia datang kepada orang yang melarangnya dan bertanya, “Mengapa engkau
melarangku membaca di belakang Rasulullah SAW?” Keduanya pun bertengkar, lalu
hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW.,lalu beliau bersabda:
مَنْ صَلَّى خَلْفَ اِماَمٍ فَاِنَّ قِرَاءَةَاْلاِماَمِ لَهُ قِرَاءَةٌ
Artinya:“Barangsiapa
yang mengerjakan shalat di belakang imam (bermakmum), maka sesungguhnya bacaan
imam adalah menjadi bacaannya.” [4]
Riwayat tersebut menunjukkan
larangan untuk membaca. Karena jawaban Nabi SAW membenarkan larangan sahabat
mengenai bacaan dalam shalat, lat itu adalah shalat yang bacaannya sir.
Apabila telah tsabit larangan pada shalat sir, tentulah pada
shalat jahar lebih utama. Hadis ini diangkat oleh sejumlah ulama ahli
hadis dengan jalan yang shahih. Imam Ahmad telah meriwayatkannya dari Jabir. Ia
berkata, “Sanadnya shahih muttasil dan semuanya dapat dipercaya. [5]
Begitu pula hadis yang diriwayatkan
dari Abi Hurairah r.a., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
اِنَّماَ جُعِلَ الْاِ ماَمُ لِيُؤْ
تَمَّ بِهِ فَاِذَا كَبَّرَ فَكَبَِرَوْاوَاِذَقَرَأَفاَنْصِتُوْا.
Artinya: “Imam itu untuk
diikuti, apabila ia takbir, takbirlah kamu, dan apabila ia membaca, diamlah kamu”
Hadis lainnya adalah yaitu hadis
yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa ketika Baginda Nabi SAW sedang
shalat dzuhur ada seorang laki-laki membaca di belakang Beliau SAW:
سَبِّحِ اسْمَ
رَبِّكَ اْلأَعْلىَ
Maka setelah selesai shalat, Nabi SAW bertanya, “Siapakah
di antara kalian yang membaca tadi?” Orang itu menjawab, “Saya, wahai Rasulullah!”
Lalu Nabi SAW bersabda:
لَقَدْ ظَنَنْتُ اَنَّ بَعْظَكُمْ
Artinya: “Sungguh aku menyangka ada di antara kalian yang mengingkariku tentang
bacaan
Adapun
makna lafazh khaalajaniihaa adalah naaza’anihaaa yang mempunyai
arti mengingkari atau mengenai bacaan. Ucapan ini menunjukkan bantahan terhadap
bacaan makmum. Apabila bacaan makmum dibantah dalam shalat dzuhur, padahal
shalat dzuhur adalah shalat sirriyah, tentulah bantahan pada shalat jahriyah
lebih diutamakan. [6]
c.
Adapun tentang qiyas, ulama Hanafiyah berkata “Seandainya membaca
Fatihah itu diwajibkan atas makmum, tentulah tidak akan gugur dari orang masbuq
sebagaimana rukun-rukun lainnya. “Lalu mereka pun meng-qiyas-kan bacaan
makmum kepada bacaan masbuq tentang (hukum) gugurnya bahwa hal itu
tidaklah di syari’atkan, sedang mengerjakan yang tidak di syari’atkan adalah
makruh hukumnya. [7]
2.
Madzhab Syafi’iyah
Madzhab
As-Syafi’iyah mewajibkan makmum dalam sholat jama’ah untuk membaca surat
Al-fatihah sendiri meskipun dalam sholat jahriyah (yang dikeraskan bacaan
imamnya). Tidak cukup hanya mendengarkan bacaan imam saja. Mereka menyebutkan
bahwa ketika imam membaca surat Al-Fatihah, makmum baru mendengarkannya, namun
begitu selesai mengucapkan, masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat
Al-Fatihah secara sirr (tidak terdengar). Dalam pandangan madzhab ini,
kewajiban membaca Al-fatihah gugur dalam kasus seseorang makmum yang tertinggal
dan mendapati imam sedang ruku’. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku’
bersama imam dan sudah terhitung mendapat satu rakaat. Membaca Al-Fatihah
adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama
maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada sholat fardhu maupun sholat sunnah. hujjah
oleh Syafi’iyyah adalah:[8]
a.
Firman Allah SWT:
(#râätø%$$sù
$tB u£us? z`ÏB Èb#uäöà)ø9$#
4
Artinya: “Bacalah
apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an.” (Q.S. Al-Muzzamil (83) : 20)
b.
Al-Hadis:
a)
Sesungguhnya Baginda Rasulullah
SAW bersabda:
لاَ صَلاَةَ اِلاَّ
بِقِرَاءَةٍ
“Tidaklah sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul
Kitab.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
b)
Rasulullah SAW bersabda:
لاَ صَلاَةَ
لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفاَ تِحَةِ الْكِتاَبِ
Artinya: “Tidak ada shalat (tidak sah) kecuali dengan
bacaan.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu
Majah, dan Imam Ahmad dari ‘Ubadah bin Shamit)
c)
Juga sabda Rasulullah SAW
لاَ صَلاَةَ اِلاَّ بِفاَ تِحَةِ الْكِتاَ بِ
Artinya: “Tidak sah shalat, kecuali dengan Fatihatul
Kitab.”
Dan hadis lainnya yang menunjukkan secara umum tentang
kefardhuannya bacaan atas tiap-tiap orang yang mengerjakan shalat, baik ia
makmum maupun bukan. Mereka mengatakan, “Tidaklah sah berpindah dari penunjukan
umum, kecuali bila ada sebab yang menggerakkannya. Karena tidak ada sebab yang
mengarah ke sana, tetaplah batasan itu fardhu atas tiap-tiap orang yang
mengerjakan shalat.”
d)
Juga ulama Syafi’iyyah yang berpegang lagi dengan hadis Abu Hurairah r.a.
yang diangkatnya:
مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ
فِيْهاَ بِأُمِّ الْكِتاَبِ فَهِيَ خِدَاجٌ غَيْرُ تَماَمٍ
Artinya:
“Barang siapa yang shalat di dalamnya tanpa membaca ummul kitab (Fatihah),
maka shalat itu kurang, tegasnya tidak sempurna.”
Perawi hadis ini berkata “wahai Abu Hurairah! Sungguh
kadang-kadang aku shalat di belakang imam” Lalu Abu Hurairah memegang lenganku
dan berkata, “Wahai Farisy, bacalah Fatihah untuk dirimu”. Hadis ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud. [9]
e) Hadis ‘Ubadah bin Shamit, ia berkata, “Baginda Rasulullah
SAW shalat subuh dan beliau mengeraskan bacaannya. Setelah selesai shalat,
Beliau bersabda, “Saya melihat kalian membaca di belakang imam?” Kami menjawab,
“Benar, demi Allah, wahai Rasulullah.” Kemudia Rasulullah SAW bersabda:
لاَ
تَفْعَلُوْا اِلاَّ بِأُمِّاالْقُرْاَنِ فاَِنَّهُ لاَ صَلاَ ةَ لِمَنْ لَمْ
يَقْرَأْ بِهاَ
Artinya:
“Jangan kamu semua lakukan, kecuali dengan Ummul Qur’an, karena sesungguhnya
tidak ada shalat bagi orang yang membacanya.” (HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi)
Hadis-hadis
ini khusus mengenai bacaan makmum, dan semuanya tegas tentang fardhu membaca Fatihah.
[10]
3. Madzhab Malikiyah
Madzhab Malikiyah mengambil dalil mengenai tidak wajibnya
makmum membaca Fatihah, yaitu dengan dalil-dalil sebagaimana yang dikemukakan
oleh para ulama Hanafiyah. Mereka mengatakan dalil-dalil itu telah menunjukkan
ketidakwajibannya, bukan larangan yang menunjukkan keharaman. Mengambil hujjah
dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Darda r.a. berkata, “ Baginda Nabi SAW
pernah ditanya apakah pada masing-masing shalat itu terdapat bacaan? Beliau SAW
menjawab, “Ya”. Maka berkatalah salah seorang laki-laki dari golongan anshar,
“Sudah Wajib?”. Maka Baginda Rasulullah SAW bersabda kepadaku, sedang aku
adalah orang yang paling dekat kepada Beliau: [11]
ماَأرَاْلاءِماَمَ
اِذَا اَمّ الَْقَوْمَا اِلاَّ قَدْ كَفاَ هُمْ
Artinya: “Tidaklah saya melihat imam apabila mengimami
kaum, melainkan ia telah mencukupi bagi mereka itu.”
Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Jabir r.a.:
مَنْ صَلىَّ
صّلاَةً لاَيَقْرَأُ فِيْهاَ بِأُمِّاالْكِتاَبِ فَهِيَ خِدَاجٌ اِلاَّ اَنْ
يَكُوْنَ وَرَاءَاْلاِماَمِ
Artinya: “Barangsiapa shalat yang di dalamnya tanpa
membaca ummul kitab (Fatihah) maka shalat itu kurang, kecuali ia berada di
belakang imam.”
Mereka
berkata, “kedua hadis itu secara jelas menyatakan ketidakwajibannya.”
Hanya
saja ulama Malikiyyah mengkhususkan adanya perintah mendengar dan diam pada
shalat jahriyah. Mereka menguatkan dengan berkata “Setelah Baginda Rasulullah
SAW selesai shalat, yang beliau jaharkan bacaannya, Beliau SAW bertanya,
“Adakah salah seorang di antara kalian yang membaca?” Seorang laki-laki
menjawab, Ada, wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda:
فَاِ نِّىْ أَ
قُوْلُ ماَلِىْ أُناَزِعُ اْلقُرْاَنَ
Artinya:
“Maka sesungguhnya aku telah mengatakan, tidak pantas bagiku saling berebut
membaca (al-Qur’an).”
Sejak saat itu, orang-orang pun
berhenti membaca bersama Rasulullah dalam shalat yang bacaannya jahar. Hadis
ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi, dan ia mengatakan,
“Hadis ini adalah hasan.” Mereka mengatakan bahwa hadis secara garis tegas
menyatakan makruh membaca Fatihah dalam shalat jahar bagi makmum.
Adapun tentang disunahkannya membaca Fatihah dalam
shalat sir, mereka mengemukakan sabda Rasulullah SAW:
وَاِذَاأَسْرَرْتُ
بِقِرَاءَ تِىْ فاَقْرَءُوْا
Artinya: “Dan apabila aku membaca dengan sir, maka
bacalah.” (HR. Daruqutni)
Mereka
tidak mengartikan perintah disini sebagai wajib pada hadis, yaitu untuk
mengkompromikan dengan hadis-hadis (sebagai hujjah mereka) yang menunjukkan
tidak wajib.
4. Madzhab Hanabilah
Ulama’ Hanabilah mengambil dalil mengenai tidak wajibnya makmum membaca
Fatihah, yaitu dengan dalil-dalil sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama
Hanafiyyah. Ulama’ Hanabilah mengatakan bahwa makmum disunatan membaca Fatihah
tatkala imam diam dan pada saat-saat tidak dapat mendengar bacaan imam, baik
karena sebab bacaannya sir ataupun kaena jauhnya. [12]
BAB III
PENUTUP
Para
ulama telah ijma’ (bersepakat) bahwa imam tidaklah menanggung bacaan makmum
dalam shalat fardhu, kecuali bacaan Fatihah. Adapun mengenai bacaan Fatihah,
dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Para ulama’ Hanafiyyah berpendapat bahwa
kewajiban membaca Fatihah adalah gugur bagi makmum, baik shalat yang bacaannya
Sir maupun Jahar, apabila seorang makmum membacanya juga, hukumnya adalah
makruh tahrim. Sedangkan ulama’ Syafi’iyyah mewajibkan secara mutlaq. Ulama
Malikiyah tidak mewajibkan dan tidak juga melarang, hanya pada shalat sir di
sunatkan membacanya. Ulama Hanabilah tidak mewajibkan dan tidak melarang pada
saat tedengar bacaan imam, maka sunat membacanya bagi makmum.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi,T.M. 2000. Hukum-Hukum
Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Mughniyah,M.J. 2000. Fiqih
Lima Madzhab. Jakarta: Basrie Press.
Muhammad Jawad ,M. 2003. Fiqih
Lima Madzhab. Jakarta:Basrie Press.
Muhammad Syalthut. 2000. Fiqih
Tujuh Madzhab. CV Pustaka Setia. Bandung.
[8] Muhammad Jawad .M, Fiqih Lima Madzhab, ( Jakarta:Basrie
Press, 2003), hlm. 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar